BLANTERORIONv101

Rawe-Rawe Rantas, Malang-Malang Putung!

26 Januari 2023
Paduka Tuan Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat !

Saudara-saudara !

Saya mengucapkan terima kasih atas pidato Paduka Tuan Ketua tadi itu.
Buat ketiga kalinya kita sekarang, berkat karunia Allah SWT, mengalami 17 agustus yang beriwayat. Negara kita telah genap 2 tahun.

Berhubung dengan gentingnya dan pentingnya keadaan, pidato saya akan agak panjang, tetapi saya minta kesabaran paduka tuan dan saudara-saudara untuk mendengarkannya.

Lebih dahulu, berhubung dengan Idul Fitri di hari besok, saya minta maaf kepada segenap rakyat untuk semua kesalahan-kesalahan saya, sebagai orang—manusia, dan sebagai kepala Negara. Ampunilah semua kesalahanku itu !

Dua tahun kita telah merdeka. Pada 17 Agustus tahun yang lalu, saya uraikan di dalam pidato saya, betapa kita di dalam satu tahun kemerdekaan kita itu, menghadapi banyak sekali kesulitan, tetapi mampu juga mengalahkan semua kesulitan.

Pada waktu itu, negara kita baru saja terlepas daripada satu krisis pemerintahan. Pada waktu itu, masih sangat teringat hal penculikan perdana menteri dan seorang menteri lagi, serta pula beberapa opsir,dan terutama sekali peristiwa “Coup D’etat" yang dilakukan orang pada permulaan bulan Juli. Kecuali krisis ini, adalah krisis lain, yakni karena perundingan dengan Belanda pada waktu itu telah menemui jalan buntu. Pihak Inggris, yang dengan menyumbangkan tenaga Sir Archibald Clark Kerr belum hendak meninggalkan persoalan Indonesia begitu saja, telah mulai menyerahkan beberapa daerah Indonesia kembali kepada Belanda, karena adanya desakan supaya tentara Inggris lekas meninggalkan Indonesia. Dan baru saja—14 Agustus 1946—saya menyerahkan kepada saudara Sjahrir untuk membentuk satu kabinet nasional.

Memang banyak sekali kesukaran-kesukaran yang kita hadapi, baik di dalam, maupun di luar, pada waktu kita merayakan hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang pertama itu !

Tetapi kendati kesukaran-kesukaran itu, tidak dapatlah dipungkiri pula, bahwa tenaga-tenaga masyarakat terus bergerak di dalam kemajuan yang dinamis. Memang Revolusi adalah dinamika masyarakat ! kemajuan yang dinamis itu membawa konsolidasi yang lebih besar lagi di sedala lapangan. Lapangan Kenegaraan, Lapangan masyarakat sendiri—semuanya meregristir konsolidasi ! siapa yang dengan hati jujur dapat memungkirinya? Malahan Komisi yang di kepalai dr. Koets sendiri, yang datang meninjau ke daerah kita, terpaksa mengakui sangat nampaknya proses kejurusan konsolidasi itu ! mereka dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa di Republik tidak ada rasa kebendian terhadap bangsa asing, juga tidak terhadap bangsa Belanda. Mereka menyaksikan, bahwa bangsa Indonesia yang mereka jumpai pada bulan September 1946, bukan lagi bangsa Indonesia sebelum tahun 1941. Mereka menyaksikan, bahwa bangsa Indonesia di dalam segala tingkah lakunya, telah menyatakan dirinya merdeka, seolah-olah beban jiwa yang berat telah di lempar jauh-jauh dari dirinya. Mereka menyaksikan, bahwa pemuda-pemuda kita di dalam suasana merdeka haus akan pengetahuan. Mereka menyaksikan, bahwa pabrik-pabrik berjalan baik, dan bahwa kaum buruhnya di beri pelajaran membaca dan menulis, serta tergabung dalam serikat-serikat buruh yang besar artinya.

Demikianlah gambaran yang disaksikan oleh lawan kita sendiri. Lawan, yang katanya akan menolong dan memberi bantuan kepada kita melaksanakan cita-cita kemerdekaan. Tetapi pada waktu itupun kita telah yakin, bahwa pembangunan Negara kita, tidak akan dapat dilakukan dengan sempurna, dengan aman, dengan tiada gangguan dari luar, kalau tidak dipecahkan lebih dahulu sampai ke akar-akarnya, pertikaian politik dengan Belanda. Sebab, pada waktu itu, masih puluhan ribu pemuda kita menjaga garis pertempuran. Pada waktu itu, masih dihalangi oleh Belanda segala ekspor kita keluar. Pada waktu itu, masih belum dapat kita lakukan rancangan pembangunan kita yang sempurna, karena kekurangan alat yang kita perlukan dari luar negeri. Malahan lebih-lebih lagi dari itu: Bahan pakaian, yang kita perlukan buat rakyat kita yang telah hamper telanjang, dihalang-halangi masuknya oleh Belanda, walaupun kita telah mempunyai cukup tenaga pembeli untuk mendatangkan bahan pakaian itu dari luar. Malahan lagi—sering dari beberapa pihak lawan kita, kekurangan pakaian itu, dan belum sempurnanya pembangunan kita itu dipakai sebagai alasan untuk mengatakan bahwa Republik kita Republik yang tidak sempurna.

Tetapi, dengan keyakinan bahwa tumbuhnya konsolidasi berjalan terus; dengan keyakinan, bahwa, meskipun banyak hal belum sempurna, toh dapat disempurnakan kalau alat-alat telah cukup; dengan keyakinan yang demikian itu, kita hadapi persoalan menyelesaikan peristiwa Indonesia—Belanda !
Pada 29 Agustus tibalah Lord Killearn di Indonesia. Inilah percobaan lagi dari pihak Inggris, yang pada waktu itu masih berkuasa di jawa dan Sumatera, untuk mencapai penyelesaian soal Indonesia-Belanda. 2 hal yang diminta oleh Lord Killearn. 2 hal itu ialah:

Pertama-tama, seboleh mungkin adanya gencatan—perang, untuk menciptakan suasana–baik, supaya perundingan politik dapat berjalan licin;

Kedua, supaya sesudah gencatan—perang itu tercapai, kedua belah pihak berusaha mendapat penyelesaian politik.

Maka pemerintah kita, mengingat fakta-fakta yang saya sebut tadi menyetujui dua hal itu. Tetapi percobaan yang pertama-tama kali untuk mencapai gencatan senjata, telah sia-sia belaka ! utusan milter yang telah kita utus ke Jakarta pada penghabisan bulan September 1946 kembali dengan tidak mendapat hasil.

Sementara itu, dari pihak musuh ada juga beberapa tindakan yang ditujukan kepada kehendak menyelesaikan pertikaian Indonesia—Belanda, yang memberi harapan sedikit kepada kita, bahwa di pihak Belanda sudah mulai ada hasrat untuk memandang soal Indonesia ini dari sudut yang juga memperhitungkan perubahan-perubahan maha besar di Asia Tenggara. Delegasi Belanda yang diketuai oleh professor Schermerhorn tiba di Jakarta. Dari pihak Indonesia kedatangan ini disambut dengan perasaan yang agak puas mereka kita pandang sebagai perutusan Negara, yang akan mengadakan pembicaraan dengan Republik sebagai Negara pula. Pemerintah Republik menyusun delegasinya pula, yang di ketuai oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Dengan Lord Killearn sebagai peng-antara, dapatlah dimulai perundingan dengan pihak Belanda di tempat kediaman konsul Jenderal Inggris di Jakarta. Hasil pertama, seperti dirancangkan lebih dulu, ialah prinsip gencatan senjata, yang tercapai pada tanggal 14 oktober 1946.

Di dalam melaksanakan gencatan senjata ini, pada permulaan kita telah mengalami banyak sekali kesukaran. Sebab, apa arti gencatan senjata ? gencatan senjata berarti, memberi perintah menghentikan permusuhan dengan menyatakan satu garis yang tidak boleh dilewati oleh kedua belah pihak. Dan justru dalam perundingan dengan Belanda untuk menentukan garis Demarkasi ini, bukan main kesukaran-kesukaran yang kita hadapi ! sebab pihak Belanda sering kali menganggap, bahwa perundingan berarti menentukan dari pihak mereka sendiri saja !

Dan melihat pengalaman kita itu, serta pula bagaimana sikap musuh dan tafsirannya dalam hal menentukan garis Demarkasi itu, tidak boleh tidak hal urusan gencatan senjata itu niscaya akan menjadi satu hal yang kosong. Barang siapa mengetahui, bagaimana bunyinya perintah militer yang dikeluarkan oleh markas Belanda sendiri dalam hal garis Demarkasi, sudah mengetahui dengan terang, kejurusan mana Belanda berpikir !

Tetapi, walaupun sudah dari semulanya kita mengetahui betapa sukarnya menjalankan gencatan senjata itu, tetap kita berkeyakinan, bahwa bila dapat diperoleh penyelesaian politik, tentu akan datang kelegaan. Sebab, permusuhan dengan senjata selalu adalah akibat daripada belum atau tidaknya dipecahkan pertikaian politik !

Maka, sesudah beberapa pembicaraan percobaan, mulai-lah Nampak garis-garis besar cara bagaimana menyelesaikan persolan Indonesia—Belanda. Mula-mula, nyata bahwa Belanda masih memegang sikapnya yang dahulu, yaitu mempertahankan adanya kerajaan Belanda. Sedangkan pihak kita memegang teguh pada sikap, bahwa Indonesia di kemudian hari dapat berhubungan dengan Belanda, secara Negara berhubungan dengan Negara.

Beberapa kali hampir-hampir saja jalan perundingan buntu. Tetapi atas kebijaksanaan Lord Killearn perundingan itu dapat disambung lagi, dan diperoleh satu formula yang oleh kedua belah pihak dianggap dapat membawa manfaat: Hubungan kedua Negara itu—Indonesia—Serikat dan kerajaan Belanda—adalah hubungan antara dua Negara yang berdaulat, tetapi yang dengan kehendak sendiri menggabungkan dirinya di dalam satu unie !

Demikianlah, sesudah pada tanggal 11 nopember 1946 mengadakan perundingan penghabisan di lerengnya Gunung Ciremai, maka pada tanggal 15 nopember 1946 jam 18.10 dapat di paraf persetujuan linggarjati.

Diparaf ! belum ditandatangani ! sebab komisi Jenderal masih akan membawa naskah itu ke kabinet di negeri Belanda, dan bila sudah di setujui disana, akan membawanya pula ke hadapan parlemen. Komisi Jenderal berangkat ke negeri Belanda, dan.. Sungguh, .. banyak kekhawatiran di kalangan kita, bahwa berangkat mereka itu akan sama dengan berangkatnya dr. Van mook ke hooge veluwe, yaitu kembali dengan tangan kosong. Adakah alasan buat kekhawatiran kita ini ? ada alasan itu ! sebab, sesudah naskah itu diumumkan dalam tiga bahasa, maka suara rakyat Belanda yang reaksioner, dan malahan golongan yang ada wakilnya di dalam komisi Jenderal pun, mulai mengeluarkan celaan yang bukan-bukan. Hebatlah pertikaian paham diantara rakyat Belanda sendiri tentang naskah itu !

Di tanah air kita sendiripun timbul perselisihan paham tentang menerima atau tidaknya naskah itu, tetapi—dan inilah perbedaan besar antara stabiliteiit pemerintahan kita dan pemerintah Belanda ! Pemerintah kita tetap dapat menguasai suasana politik, dan berkat kebijaksanaan partai-partai politik, maka perselisihan paham itu tidak sampai mengakibatkan kelemahan perjuangan kita menghadapi Belanda.
Menghadapi belanda dan kini menghadapi Belanda sendiri ! Sebab sesuai dengan rancang Inggris, maka Inggris meninggalkan Indonesia pada penghabisan bulan nopember 1946, dan perbantuan diplomatik yang dilakukan oleh Lord Killearn, dihentikan pula. Demikian jitu dan tepat sekali, Perdana Menteri Sutan Sjahrir pada malam perpisahan yang diadakan untuk Inggris di Jakarta, mengucapkan pujiannya yang setinggi-tingginya, bukan saja kepada Lord Killearn serta stafnya, tetapi pada umumnya juga kepada Inggris, yang lebih dari setahun ikut membentuk nasib perjuangan kemerdekaan kita. “Belum pernah dari bangsa Barat kita menyaksikan kesabaran, ketabahan, dan budi halus, seperti yang ditunjukkan oleh bangsa Inggris itu !"

Didalam segala pergeseran kekuatan dan percobaan yang kita deritai, untuk menempatkan Republik kita di dunia Internasional, maka kemajuan tenaga di dalam, terus menerus berjalan. Konferensi pemuda pelbagai bangsa dilangsungkan di Jogjakarta, uang Republik pada tanggal 26 Oktober 1946 jam 24.00 mulai beredar, pengendalian harga dicoba dengan berbagai-bagai aturan. Ikhtiar mengendali harga ini, pada permulaan nampak berhasil juga. Tetapi tetap kita menghadapi soal maha sulit, yaitu kekurangan bahan impor. Inilah menjadi sebab bahwa kesempurnaan dalam mengendalikan harga itu tidak dapat tercapai. Inilah pula yang sengaja dipelihara oleh pihak Belanda, dengan blokadenya di laut maupun di darat, dengan macam-macam alasan buatan, yang bukan-bukan !

Di dalam suasana pancaroba yang sulit itu, gerakan buruh kita mendapat kemajuan pesat. Dari gabungan-gabungan yang terbesar, dapat didirikan suatu Sentrale untuk seluruh Indonesia. SOBSI berdiri, dan dalam sejarah SOBSI yang masih pendek itu, telah nampaklah betapa insyafnya buruh Indonesia akan sifatnya perjuangan kita pada masa sekarang. Buruh menuntut negara yang merdeka, buruh berdiri tegak membela negaranya yang telah merdeka. Sebab hanya di dalam negara yang merdeka, buruh dapat bergerak dan bertindak sepenuh-penuhnya, menurut azas-azas dan dasar-dasar gerakan buruh yang sejati !

Sementara itu Dewan Pertahanan Negara, badan yang dibentuk oleh karena keadaan-bahaya telah dinyatakan buat seluruh Indonesia, bekerja terus menerus. Peraturan-peraturan penting yang dipandangnya perlu bagi Negara, ia adakan ; dasar bagi tindakan-tindakan yang perlu dilakukan bilamana keadaan-perang telah meliputi negara, ia tentukan.

Paduka Tuan Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat !

Apa yang kita khawatirkan pada waktu Komisi Jenderal berangkat ke negeri Belanda, makin lama makin menjadi makin nyata. Komisi itu, yang katanya hanya akan tinggal di negeri Belanda sebentaran saja, dan akan segera kembali untuk turut melaksanakan apa yang telah disetujui oleh kedua belah pihak—Komisi itu lama sekali tinggalnya di Negeri—dingin, dan setelah kita pelajari dengan seksama segala ucapan-ucapan pelbagai golongan rakyat Belanda dan pemerintah Belanda, terang—benderanglah, bahwa rakyat Belanda sangat terpecah—belah dalam masalah Linggarjati itu, dan—bahwa pemerintah Belanda sendiri banyak sekali kesangsiannya dalam menghadapi perlawanan pihak yang tidak menyetujuinya. Maka pada waktu parlemen Belanda sedang sibuk memperdebatkan pro dan kontranya, keluarlah pernyataan State Department Amerika Serikat yang menyetujui Linggarjati itu !

Statement Amerika ini mempercepatkan pihak Belanda apa yang mereka namakan “menerima Linggarjati". Tetapi, tafsiran dikeluarkan oleh mereka, yang menurut bunyinya notulen dan menurut semangat perundingan, sangat bertentangan dengan apa yang dirundingkan masak-masak. Pada pertengahan bulan januari 1947 komisi Jenderal datang lagi di Jakarta, tetapi rupanya bukan untuk segera menandatangani naskah Linggarjati, melainkan untuk membuka perdebatan—baru dengan menyelimuti hal itu dengan meminta terdahulu dibicarakan situasi militer.

Memang pada waktu itu situasi militer makin lama makin buruk. Tetapi bukan oleh kesalahan kita ! di beberapa garis—pertempuran, sudah timbul keadaan yang sangat mengecewakan, oleh karena Belanda bertindak sewenang-wenang dalam menentukan garis—demarkasi, sehingga bagi mereka selalu ada “alasan" untuk bertindak, sedang dari pihak kita segala tindakan itu sudah barang tentu terpaksa dibalas dengan seperlunya. Malahan di beberapa front keadaan telah merupakan keadaan yang tidak didasarkan lagi atas gencatan—perang.

Tetapi, yang sangat terang bagi dunia luar pada waktu itu ialah, bahwa oleh sangsinya dan lambatnya Belanda mengambil keputusan yang jujur dalam peristiwa politik itu, dan oleh tidak jujurnya mereka menghadapi soal yang telah disetujui oleh Komisi Jenderal di Indonesia, maka politik di Indonesia-pun bertambah buruk. Hubungan antara pemerintah Republik dan Pemerintah Belanda sangat sedikit. Belanda di Jakarta kentara sangat gelisah. Berangkatnya dr Van Mook ke Denpasar diundurkan beberapa kali, menunggu putusan tentang Linggarjati dari Den Haag.

Pada waktu itu, Goodwill Belanda di pandangan mata Indonesia sangat merosot. Goodwill mereka itu dipandangan mata kita tidak bertambah, sesudah kita melihat apa yang di bawa oleh Komisi Jenderal sebagai “oleh-oleh" dari parlemen dan pemerintah mereka: yaitu tafsiran yang amat aneh, yang hendak dipaksakan atas Republik, walaupun bagi Republik bunyinya naskah serta notulennya telah terang benderang.

Berkali-kali, berkali-kali pihak kita mendesak kepada pihak Belanda, supaya dengan segera diselesaikan soal-politik lebih dahulu, soal-militer kemudian, tetapi sia-sia belaka. Di dalam suasana demikian, terjadilah pelanggaran gencatan senjata oleh Belanda secara besar-besaran: Krian, Sidoarjo, Gempol diserbu oleh mereka. Bagi pihak Belanda selalu ada “alasan", tetapi dunia tak dapat di abui matanya. Penyerbuan Krian-Sidoarjo-Gempol itu dijalankan sesudah ada persetujuan untuk menyelesaikan hal tembak menembak di Front Surabaya. Pada waktu itu ternyata dengan tegas, bahwa dr Van Mook tidak dapat mengendalikan militernya !

Menjadi, tidak dapat dikatakan, bahwa suasana untuk mencapai perdamaian politik dengan Belanda, bertambah baik. Sebaliknya ! suasana Politik itu bertambah buruk. Tetapi justru dalam keadaan yang demikian itu persatuan kita makin menjadi rapat ! tekanan yang dilakukan atas pemerintah kita oleh pihak Belanda supaya kita menerima tafsiran Belanda, dapat kita lawan dengan tegas dan pihak Republik menyatakan hanya bersedia menandatangani naskah dengan tidak terikat kepada apapun, melainkan kepada apa yang telah kita setujui. Bagi Republik pada waktu itu jalan Linggarjati masih tetap jalan yang dapat ditempuh, walaupun dari tindakan tentara Belanda di Front Surabaya itu terang kurang—adanya rasa tanggung jawab di kalangan mereka itu, dengan penyerbuan mereka ke Krian ke Sidoarjo dan ke Gempol. Dan di Palembang-pun pada permulaan tahun 1947, pula di Front Medan, di front Padang, banyak insiden-insiden yang menjadi pertempuran.

Tetapi walaupun demikian, walaupun demikian tetap Republik berpendapat bahwa jalan damai adalah jalan yang sempurna. Pada tanggal 15 Februari 1947 jam 24.00 saya perintahkan penghentian tembak menembak.

Pada waktu itu masih kita percaya, bahwa dengan penyelesaian soal politik, soal-soal lainpun dapat diselesaikan !

Maka untuk menghadapi penandatangan naskah Linggarjati, dirancanglah mengadakan sidang Komite Nasional Indonesia Pusat yang ke lima di Malang. Paduka Tuan sendiri yang memimpin sidang itu. Sebelum sidang itu, nampak adanya perbedaan paham antara Presiden dan Badan Pekerja dalam soal menyempurnakan keanggotaan K.N.I Pusat. Peraturan Presiden no. 6, yang dibuat oleh saya dengan bantuannya wakil Presiden serta pihak luar-an yang diminta pemandangannya, ditolak oleh Badan Pekerja itu. Saya berpendapat, bahwa soal itu sebaiknya diputuskan oleh K.N.I.Pusat sendiri, dan usaha saya untuk menyempurnakan keanggotaan KNIP itu diteruskan dengan seksama. Alhamdulillah, putusan sidang KNIP di Malang ialah demikian, sehingga Peraturan Presiden No. 6 itu dapat dipakai untuk bersidang terus dengan KNIP baru.

Yang amat penting ialah, bahwa pada sidang itu dapat diambil keputusan menyetujui pimpinan Pemerintah, sehingga naskah Linggajati dapat dipakai selanjutnya untuk menjadi dasar politik Pemerintah, ke luar dan ke dalam.

Dengan demikian, maka dapatlah dilangsungkan pembicaraan dengan Belanda.
Pada 25 Maret 1947, ditandatanganilah Naskah Linggajati!

Tetapi sayang sekali! Penandatanganan itu tidak berlaku dalam suasana gembira, penandatanganan itu berlaku dalam suasana luka-hati di pihak kita. Sebab beberapa hari sebelum itu, pihak Belanda telah menyerbu Mojokerto. Dengan sekonyong-konyong, dengan memakai tank-tank, kapal-kapal-terbang, artilerie-berat dan lain-lain senjata yang modern, Belanda menyerang ke jurusan Mojokerto, dan walaupun mereka kemudian menyetujui akan adanya demilitairisatie daerah kabupaten Mojokerto, – tetap rasa bangsa Indonesia terluka, tetap kita sukar mempercayai janji-janji Belanda.

Tetapi bagi pihak kita, ada juga akibat peristiwa Mojokerto yang berguna: pengalaman di Mojokerto itu seolah-olah membangunkan rakyat kita, menggugah rakyat kita, yang sangat meminta penyusunan pertahanan di Jawa Timur yang lebih sempurna. Sebab, tetap masih ada ingatan rakyat itu kepada hebatnya epos pertempuran di Surabaya, dan peristiwa Mojokerto itu menjadi tanda pembangkitan kembali. Tentara, laskar, jawatan, rakyat, bergeraklah kembali, – Markas Besar Pertempuran Jawa Timur menjelma, dan giat membangkitkan kembali semangat perjuangan kita.

Di dalam masa itu, hubungan kita ke luar negeri, kita perbesar. Telah dapat kita bertukar pikiran dengan utusan negeri Mesir yang datang ke Jogya. Telah dapat kita memberangkatkan satu delegasi ke India untuk mengunjungi Inter Asian Relations Conference. Tindakan-tindakan ini adalah permulaan tindakan-tindakan secara teratur ke luar negeri. Tindakan-tindakan itu istimewa ialah untuk memperkuat kedudukan kita sebagai negara. Kedudukan ke luar, kedudukan ke dalam. Segala sesuatu harus kita pakai untuk memperkuat kedudukan itu! Sebab niat agresi Belanda makin lama makin terang, makin lama makin nyata. Hanya orang yang naif saja tidak mau percaya akan adanya niat agresi itu. Misalnya, – apa arti mengalirnya tentara Belanda yang terus-menerus? Apa arti ucapan Belanda, hendak membuat daerah Mojokerto itu “daerah contoh", satu “proeftuin"daripada kerja-sama antara Indonesia dan Belanda? Ucapan ini membuktikan dengan nyata, bahwa kerja-sama a l a Belanda itu didasarkan atas cukup-adanya kekuasaan militer Belanda di daerah kita. Kerja-sama yang demikian itu nyata berbau kolonialisme tulen, dan rakyat Indonesia harus awas dan waspada.

Bahwa dalam pikiran segolongan besar dari pihak Belanda di Jakarta, kerja-bersama itu menurut tafsiran mereka memang kembalinya status jajahan atau setidak-tidaknya setengah-jajahan, dapatlah dibuktikan dengan jalannya perundingan selanjutnya.

Sekonyong-konyong, segala sesuatu yang hendak diatur untuk menyiapkan penglaksanaan Linggajati dipaksakan masuk ke dalam lingkungan dan ke dalam alat Hindia-Belanda yang lama. Sekonyong-konyong, dengan demikian, kita bukan menghadapi likwidasi penjajahan, tetapi sebaliknya malahan memperkuat adanya-lagi alat-alat dan kekuasaan penjajahan. Benar kadang-kadang dikatakan, bahwa hal itu ialah hanya untuk sementara waktu saja, – untuk sementara waktu, sampai 1 Januari 1949 -, tetapi segala ucapan, segala argumentasi itu, tidak dapat menghilangkan rasa-khawatir di pihak kita. Adakah Pihak Belanda betul-betul ikhlas hendak mengerjakan Linggajati? Kita selalu ingat kepada perkataan William Penn yang berbunyi: “Dunia Baru tidak mulai dengan ditandatanganinya naskah-naskah di meja perdamaian. Dunia Baru mulai, bilamana Tuhan menuliskan kehendaknya di dalam hati manusia".

“The New World does not begin when pens inscribe signatures on parchment at a peace-table. It begins when God inscribes His will on the hearts of men".

Adakah pihak Belanda betul-betul ikhlas hendak mengerjakan Linggajati?
Tetapi pendirian pihak kita adalah terang. Pendirian pihak kita tidak menyimpang dari semangat Linggajati: Kerja-sama antara Indonesia dan Belanda itu adalah kerja-sama antara dua negara yang sama derajat. Oleh sebab itu, maka segala sesuatu yang perlu kita kerjakan bersama-sama, haruslah didasarkan atas dasar sama-derajat itu, sehingga misalnya di dalam hal mengatur eksport atau keuangan di luar negeri, dapat kita setujui kalau bagian Republik dan bagian Belanda sama bentuknya, dan di atas kedua bagian yang sama bentuknya itu, dibentuk satu pengawasan bersama atau pengurus-bersama.
Tetapi hal yang demikian itu sangat ditolaknya oleh Belanda, yang berlainan pemandangannya terhadap kepada Republik, walaupun di dalam naskah Linggajati dengan tegas, jelas, dan tandas dinyatakan sederajatnya Belanda dan Republik.

Lambat-laun, perhubungan menjadi makin kurang ramah-tamah. Lambat-laun ternyatalah, bahwa segala pembicaraan akan gagal.

Dan di mana nampak mulai ada persetujuan, di situ pihak Belanda lantas kelihatan mempersukar perundingan selanjutnya. Demikianlah halnya misalnya dengan urusan militer, dengan urusan pembukaan jalan kereta-api, dan lain-lain lagi.

Suasana memburuk. Suasana menjadi serat. Rasa kecewa yang sudah lama dikandung, rasa kecewa itu makin mendalam, makin lama makin menjadi rasa sakit di dalam hati, baik melihat perkosaan-perkosaan keadaan militer, maupun melihat tidak adanya kemajuan di dalam urusan politik. Ditambah lagi dengan usaha Belanda mendirikan daerah-istimewa Borneo Barat, dengan tidak mendengar pihak Republik sedikitpun, walaupun terang menurut naskah Linggajati, bahwa pembentukan Indonesia-Serikat adalah usaha-bersama antara pihak Indonesia dan pihak Belanda.

Memang! Tambah giatnya pihak kita mencari hubungan keluar di masa itu m e m a n g disebabkan oleh kekhawatiran yang nyata, bahwa lambat-laun Belanda musti berbalik. Musti berbalik, – jarum sikapnya telah menunjukkan ke arah itu. Tiada hentinya mereka mendatangkan tentaranya ke Indonesia, tiada hentinya mereka menyelundupkan mata-mata-militernya ke daerah Republik. Dikatakan olehnya, bahwa kedatangan tentara-tentara-baru itu ialah untuk mengganti tentara-tentara yang perlu dipulangkan. Saya menanya: berapa jumlah tentara yang mereka telah pulangkan?

Maka di hadapan muka bahaya ini, untuk memperkuat langsung kedudukan kita, kita mengirimkan wakil Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim melawat ke negeri-negeri Arab.

Suasana politik makin lama makin gelap. Dari pihak Belanda sudah banyak terdengar ucapan, bahwa tidak dapat dihindarkan penyelesaian soal dengan jalan yang tidak damai. Dikatakan bahwa mereka akan mencoba, "buat penghabisan kali" mencari penyelesaian, yakni sesudah dari pihak ke tiga dikeluarkan pikiran bahwa jalan yang sedang ditempuh oleh Belanda itu adalah jalan buntu, dan perlu dicari formule lain untuk ke luar dari impasse. Oleh pihak Indonesia telah dikemukakan semacam badan untuk seluruh Indonesia, yang dapat menguasai segala kesulitan yang pada masa itu timbul. Memang pikiran demikian rupanya juga telah lahir dalam kalangan Belanda, dan hal itupun telah jadi rundingan antara Perdana Menteri Beel dan Menteri Jonkman. Kedua-duanya tiba di Indonesia bukan karena hal lain, melainkan karena kenyataan, bahwa politik Belanda di Indonesia, – baik di Borneo, maupun di Sulawesi, di mana mereka terus-menerus menghadapi gerakan-kemerdekaan, maupun terhadap kepada Republik -, tidak mampu lagi mendatangkan keberesan dan tidak memuaskan hati rakyat. Kita ketahui, bahwa pada waktu Beel dan Jonkman ada di Jakarta, pada waktu itu sudah dibicarakan di kalangan Belanda, kemungkinan menyelesaikan soal Indonesia dengan kekerasan senjata!

“Percobaan penghabisan" itu disampaikan kepada kita pada tanggal 27 Mei. Di dalam tempo 14 hari kita diharuskan menjawab! Kalau jawaban kita tidak memuaskan mereka, maka soal Indonesia-Belanda akan “diserahkan kepada pemerintah Belanda kembali!"

Bagi Republik arti pernyataan ini sudah terang. Kemungkinan bahwa Belanda akan mempergunakan tanknya dan meriamnya dan bomnya dan kapal-terbangnya, sudah terang. Dengan teliti dapat kita ikuti segala usaha persediaan mereka, – persediaan hendak perang -, baik di pulau Jawa, maupun di pulau Sumatera. Dan segala alat-propaganda mereka, mereka kerahkan pula untuk menciptakan suasana perang.

Sungguh, bagi Republik situasi pada saat itu sudah terang. Tetapi Republik tidak gugup melihat sikap Belanda itu. Dengan tenang, dengan terang, Kementerian Pertahanan menyampaikan rencana pembelaan kepada Dewan Menteri. Dewan Menteri mengsyahkannya, dan dengan segala kegiatan, segala keikhlasan, segala kecintaan kepada kemerdekaan, dilakukanlah persiapan di segala lapangan untuk mempertahankan Negara.

Jawaban atas Nota Belanda 27 Mei itu disusun sebaik-baiknya, dan disampaikan kepada Pihak Belanda di waktu tepat. Sejarah Republik Indonesia sesudah tanggal penyerahan jawaban itu berjalan dengan amat cepat. Tetapi seluruh rakyat bersatu di dalam hal menghadapi Belanda. Seluruh rakyat telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Meskipun demikian, lagi-lagi Pemerintah mencoba mengelakkan peperangan. Pada waktu kelihatan oleh Pemerintah Syahrir, bahwa peperangan tidak dapat dihindarkan lagi, masih dicoba oleh pihak kita untuk mengadakan pembukaan jalan berunding lagi, tetapi sekali lagi dibuktikan oleh pihak Belanda bahwa mereka tidak suka mencari kata-sepakat. Segala tuntutan mereka, tetap harus dipenuhi!
Justru di dalam saat yang amat sukar ini, terjadilah krisis kabinet Syahrir. Mengingat kegentingannya keadaan, maka dengan persetujuan kabinet, kuasa Negara diserahkan kepada Presiden kembali. Betapa sukarnya membentuk kabinet baru, tidak usah saya terangkan lagi di sini. Dan betapa beratnya tanggungjawab kabinet baru di bawah pimpinan Amir Syarifuddin, Setiajit dan Adnan Gani, tidak perlu pula saya gambarkan.

Tetap mereka ini melakukan politik damai. Tetap mereka ini membatasi tuntutan Indonesia hanya kepada kekuasaan de facto Republik sebagai Republik saja. Di luar daripada ini, boleh dikatakan hampir semua tuntutan Belanda disetujuinya. Dengan demikian, dengan tegas mereka ini sedia mengambil risiko bahwa di dalam negeri akan timbul oposisi lagi, sebagai yang menjatuhkan kabinet Syahrir. Tetapi putusan itu mereka ambil dengan saksama, sesudah menimbang segala bahaya, menimbang segala kemungkinan-kemungkinan, menimbang segala anjuran-anjuran, baik dari luar, maupun dari dalam.
Tetapi, walaupun demikian, Belanda tidak merasa puas. Tidak mau merasa puas! Sebaliknya, – mereka malahan menambah persoalan, menggeserkan persoalan-yang-sebenarnya, kepada hal-hal yang lain-lain. Mula-mula hanya tinggal soal gendarmerie-bersama saja yang masih menjadi perselisihan, tetapi kemudian kita dipaksa pula menghentikan permusuhan, – menghentikan permusuhan sendiri saja! Seolah-olah Belanda tidak pernah mulai menembak! Seolah-olah Belanda, dengan mengkonsentrir semua tank-tanknya dan semua senjata-beratnya di garis-demarkasi, dan dengan semua persediaan-perangnya yang lain-lain, tidak menjalankan permusuhan!

Segala percobaan kita untuk membela perdamaian, yang kita usahakan dengan jujur dan ikhlas, gagal. Pada tanggal 21 Juli 1947, pada permulaan Bulan Suci, meriam Belanda mulai menggeledek dan mengguntur! Pada tanggal 21 Juli itu, jam 02.30, Perdana Menteri Beel menyatakan bahwa akan diadakan “tindakan kepolisian", dan pagi-pagi Dr. van Mook pun menyatakan yang demikian pula. Tetapi beberapa jam sebelumnya, kita telah diserang. Tentara Belanda yang berlapis waja dan bersenjata hebat itu, telah melangkahi garis-demarkasi. Serangan kepada kemerdekaan kita itu, sungguhpun sudah lama kita duga akan datangnya, adalah serangan yang sekonyong-konyong. Dari Pihaknya sendiri Belanda menyatakan, bahwa mereka tidak terikat lagi kepada perjanjian gencatan-perang dan perjanjian lain.

Di dalam pidato saya pada hari 21 Juli itu, saya katakan bahwa Belanda sebenarnya menyerang perikemanusiaan, menyerang keadilan. Mereka melepaskan diri dari perjanjian-perjanjian, yang sebenarnya ialah perjanjian peri-kemanusiaan. Perjanjian antara dua bangsa yang mengutamakan damai, perjanjian antara dua bangsa yang berkebudayaan. Pihak Belanda kini melepaskan kebudayaan itu. Kebudayaan ialah: cinta kepada kemerdekaan-sendiri dan kepada harga-diri-sendiri, tetapi juga menghormat milik, pikiran, perasaan, jiwa orang lain! Pihak Belanda bersikap tidak berkebudayaan lagi!

Kita diserang, sudah tentu kita melawan! Berpuluh-puluh kali, barangkali beratus-ratus kali, kita selalu mengikhtiarkan perdamaian. Tetapi pernah pula kita katakan, bahwa perdamaian ini bukan perdamaian at any cost.Pernah pula saya sendiri katakan, bahwa manakala adagium imperialisme berbunyi “eet, of word gegeten", maka adagium kita ialah “eet niet, en word niet gegeten."

Kita tidak mau dimakan. Dus kita melawan! Suatu ketidakadilan yang kecil dapat dihapuskan dengan minum anggur bersama-sama, tetapi ketidak-adilan yang besar hanyalah dapat dilawan dengan pedang, – demikianlah Confucius berkata. Yah, kita yang cinta damai itu, kita pada tanggal 21 Juli itu dipaksa mulai beranggar mati-matian mempertaruhkan darah dan jiwa kita. Apa boleh buat! Sejarah nyata menghendaki demikian! “Kita tidak dapat melepaskan diri dari sejarah", – We cannot escape history – demikianlah perkataan Lincoln.

Satu fase baru dalam perjoangan-kebangsaan kita, telah mulai!

Perang telah mulai! Ya, saya katakan perang, sebab tidak ada kata-kata lain. Belanda mengatakan bahwa ini ialah satu aksi polisionil, tetapi mereka mengetahui bahwa ini ialah satu perang. Dan kita kata: perang kolonial, perang penjajahan, perang imperialis, dengan segala kebuasannya, dengan segala kekejiannya, dengan segala ketidakadilannya! Saya mengucapkan syukur, – syukur kepada Engkau, ya Allah Robbulalamin! – bahwa di dalam peperangan ini kita bersatu. Saya ketahui, bahwa belum segala-galanya telah sempurna di dalam usaha pertahanan kita. Masih ada orang-orang yang belum mengerti betul-betul, bahwa perang ini menentukan hidup-matinya Republik yang mereka cintai. Masih ada orang-orang, yang belum sedar benar-benar, bahwa Republik kita ini ialah satu-satunya jalan, – dan tidak ada jalan lain -, untuk mencapai kesejahteraan dan kemerdekaan bagi seluruh bangsa Indonesia. Baiklah mereka itu merenungkan hal ini sedalam-dalamnya dulu!

Tetapi Alhamdulillah, pada umumnya, tentara kita dan rakyat kita telah membuktikan bahwa kita insyaf akan arti perjoangan kita sekarang ini. Rakyat mengerti, dan oleh sebab itupun rakyat membantu usaha pertahanan dengan semangat yang sebaik-baiknya.

Saya minta kepada semua orang yang bertanggungjawab, kepada pegawai-pegawai sipil, kepada orang-orang tentara, kepada pemimpin-pemimpin, supaya insyaf benar-benar, bahwa sebagai rakyat yang berperang, kewajiban kita bertambah besar dan bertambah berat. Bukan saja karena kita harus memasangkan segenap tenaga untuk pertahanan, memeras tiap-tiap tetes keringat untuk pertahanan, tetapi juga bertambah berat dan bertambah besar oleh karena kita, di dalam peperangan itu, tetap harus menjamin keamanan jiwa dan keamanan benda dari semua penduduk, kalau benda itu memang tidak perlu kita ambil atau kita binasakan guna keperluan pertahanan. Dengan istimewa saya tandaskan di sini, bahwa kita sebagai satu bangsa yang sopan, tetap berkewajiban menjamin keselamatan jiwa dan benda segala penduduk itu, – baik penduduk bangsa Indonesia, maupun penduduk bangsa Tionghoa, maupun penduduk bangsa lain. Tiap-tiap perang membawa penderitaan, tiap-tiap perang adalah penderitaan, tetapi kita musti sedia meringankan, – bukan menambah dengan tidak perlu -, penderitaan penduduk itu. Buat apa kita berperang? Justru buat membela keselamatan negara, membela keselamatan penduduk, membela keselamatan rakyat! Ingatlah kepada apa yang saya katakan tentang arti kebudayaan di muka tadi. Maukah kita berkebudayaan? Ingatlah kepada Tuhan. Carilah pimpinan Tuhan. Bangsa yang tidak dipimpin Tuhan, diperintah oleh orang-orang yang zalim! "Men must be governed by God or they will be governed by tyrant".

Ingatlah akan hal ini, setiap waktu!
Dua tahun kini usia Republik kita, dan sebelum genap usianya dua tahun tercapai, sudahlah ia harus beradu-tenaga mati-matian, “adu uleting kulit atosing balung", dengan Blitzkriegnya satu tentara imperialis yang bersenjata lengkap, beralatkan tank, meriam, bom, dinamit, kapal-perang, kapal-terbang, mobil-mobil yang berlapis waja. Keadilan berhadapan dengan ketidakadilan yang bersenjata sampai ke ujung-ujung rambutnya! Demokrasi berhadapan dengan fascisme!Tetapi jalannya peperangan tidak mengecewakan kita, walaupun di beberapa tempat ada kurang hati-hati di Pihak kita. Bahwa musuh dengan persenjataannya yang hebat, dengan motorisasinya yang cepat, dengan kapal-terbangnya dan armada-lautnya yang tidak dapat kita ganggu itu, dapat menduduki kota-kota-besar, – itu memang sudah kita ketahui lebih dahulu. Kita tidak usah malu-malu mengakui hal ini. Yang harus malu ialah Pihak Belanda, yang menyombong-nyombongkan tank-tanknya dan meriam-meriamnya itu, – sama dengan kaum Nazi yang juga menyombong-nyombongkan bahwa mereka dengan persenjataannya yang menggempakan-bumi dapat menyapu-bersih negeri Belanda dalam tempo empat hari saja.

Tetapi didudukinya kota-kota oleh tentara Belanda itu tidak berarti, bahwa tenaga-perang kita telah patah! Jauh daripada itu! Tenaga T.N.I. buat 98% masih wutuh. Tidak ada satu pertempuran, di mana sesuatu pasukan T.N.I. dibinasakan. Garis-perhubungan tentara Belanda, kecuali yang di laut dan di udara, dapat kita kuasai atau kita serang saban waktu. Semangat kemerdekaan kita masih menyala-nyala, love of liberty kita masih berapi-api. Dan kita mempertahankan kemerdekaan kita dengan jalan apa saja yang oleh hukum-hukum boleh dijalankan. Kalau kita tidak dapat terbang, kita merayap! Wien geen vleugels was sen, moet kruipen! Hasil yang diharapkan oleh Belanda, yaitu mendirikan susunan perekonomian kolonial kembali, untuk sementara waktu, buat sebagian besar telah kita tiadakan dengan menjalankan bumi-hangus, dan akan tetap kita tiadakan dengan terus-menerus mengepung mereka dalam kota-kota yang mereka duduki.

Alangkah salah Pikiran Belanda, alangkah salah rabaan mereka, dengan melakukan peperangan kolonial ini! Kedudukan Belanda merosot samasekali di luar negeri! Kaum buruh, kaum agama, kaum pemuda, kaum progresif aneka-warna, di berbagai-bagai negeri telah menjatuhkan hukuman berat atas tindakan agresi Belanda itu. Dan bukan saja hukuman berat! Bukan saja hantaman moreel yang hebat! Tindakan-tindakan rieel, seperti misalnya boikot, dikerjakan oleh mereka untuk membantu kita. Dan bukan saja perkumpulan-perkumpulan atau gerombolan-gerombolan yang membantu kita! Negara-negarapun menjatuhkan hukuman pahit kepada Belanda, memberikan sokongannya kepada kita, menyeleng-garakan tindakan-pencegahannya kepada agressi yang sewenang-wenang itu. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi untuk menghentikan permusuhan dan untuk mencapai jalan damai. Kitapun minta komisi arbitrage internasional didatangkan di sini.

Dan kitapun membukakan pintu kita, buat siapapun yang hendak meninjau keadaan di sini. Kita dalam kebenaran, kita tidak khawatir ditinjau oleh siapapun juga. Yang segan ditinjau, yang khawatir ditinjau, hanyalah Pihak yang bersalah. “Siapa mempunyai penyakit busuk, malu kepada dokter". Demikianlah peribahasa Tionghoa.

Sungguh, bantuan moreel dan bantuan rieel dari luar-negeri, amat banyaknya. Atas nama Republik, atas nama segenap Rakyat Indonesia, saya mengucapkan terima kasih kepada semua mereka itu, kepada semua pemerintah negara, kepada semua kaum buruh, kepada semua golongan dan perserikatan, kepada semua pemuda, yang dengan jitu dan tepat telah menghukum agresi Belanda itu dan bertindak pula menurut azas penghukuman itu.

Anjuran Dewan Keamanan untuk menghentikan permusuhan telah kita setujui dan telah kita kerjakan; akan tetapi kitapun telah mengetahui bahwa tentara Belanda selalu akan mencari jalan untuk meniadakan putusan Dewan Keamanan itu. Kejadian-kejadian sesudah 4 Agustus pukul 24.00 menyatakan dengan tegas, tidak tunduknya tentara Belanda terhadap perintah yang telah diberikan oleh Dr. van Mook.

Kita tidak akan berhenti mempertahankan kemerdekaan kita. Kita benar, kita di pihak keadilan. Apa saja akan kita kerjakan, untuk membela kebenaran dan keadilan itu. Dan segala usaha kita untuk menyelesaikan soal Indonesia itu, tetap akan kita lakukan di dua front, – front di dalam Republik, dan front di luar Republik. Pertikaian belum selesai, dan kita berhak mempertahankan hidup kita sebagai Negara, terhadap siapapun juga. Tidak seorangpun di dunia ini berhak melarang kita cinta kepada kemerdekaan dan membela kepada kemerdekaan, dengan jalan apapun juga. Segala usaha, yang menurut hukum-umum boleh kita lakukan, akan kita lakukan, dengan segiat-giatnya, setangkas-tangkasnya, sehebat-hebatnya. Sekali kita telah merdeka, tetap kita harus merdeka!

Seluruh Rakyat Indonesia, baik di daerah Republik, maupun di luar daerah Republik, seluruh Rakyat Indonesia dari Sabang sampai ke Irian, seluruh Rakyat Indonesia yang merantau di manca-negara, saya panggil kamu, untuk meneruskan perjuangan kita mempertahan-kan Republik sebagai pelopor daripada perjuangan seluruh bangsa Indonesia, sebagai lambang kemenangan revolusi Indonesia terhadap imperialis Belanda.

Yakinlah, saudara-saudara di luar Jawa dan Sumatera dan Madura, – dengan hilangnya Republik akan hilang pula dibasmi oleh Belanda pergerakan kemerdekaan di luar Republik. Kita yang 70.000.000 jiwa ini, kita bangsa yang satu. Dan kita bangsa yang satu ini mempunyai cita-cita-bangsa, mempunyai cita-cita-kebangsaan bersama-sama: ialah, supaya bangsa yang satu ini hidup sebagai bangsa yang merdeka, tersusun di dalam satu Negara yang merdeka, bernaung di bawah satu Bendera Sang Merah Putih yang Merdeka. Empat puluh tahun hampir, kita bersama-sama berjuang, bersama-sama menderita, bersama-sama berkorban, untuk mencapai cita-cita-kebangsaan kita itu. Dan hasil pertama yang besar daripada perjuangan-bersama, penderitaan-bersama, pengurbanan-bersama kita itu ialah Republik Indonesia ini! Republik Indonesia, yang kini hendak dihancurkan oleh Belanda.

Republik adalah milik kita bersama, milik seluruh bangsa Indonesia. Republik bukan miliknya orang Indonesia yang berdiam di Jawa dan Sumatera saja, Republik adalah juga milik saudara-saudara yang berdiam di Borneo, di Sulawesi, di kepulauan Sunda-Kecil, di Maluku, di Irian. Darah saudara-saudara ikut membasahi tanah, tatkala kita menjelmakan Republik ini! Republik harus kita anggap sebagai modal kita sekalian, untuk meneruskan perjuangan kita mengejar cita-cita-kebangsaan kita, yakni Negara Kesatuan Indonesia. Peliharalah modal ini, belalah modal ini, pertahankanlah modal ini!
Adalah beberapa orang bangsa kita, yang berkuasa atas saudara-saudara, yang menyetujui tindakan Belanda ini, – mereka adalah berkhianat kepada cita-cita-kebangsaan Indonesia. Sebab sekali lagi saya katakan: Republik adalah milik kita bersama, modal kita bersama, untuk meneruskan perjuangan kita bersama, guna mencapai cita-cita kebangsaan kita bersama, yaitu Negara Kesatuan Indonesia yang merdeka.

Marilah kita semua, semua, seluruh bangsa Indonesia, mem-pertahankan keselamatannya Republik ini. Jangan sampai modal ini hancur! Jangan sampai agresi Belanda berhasil! Jangan sampai Republik tenggelam! Apakah yang akan terjadi, jikalau Republik tenggelam? Jikalau Republik tenggelam, maka akan tinggal hanya negara-negara-kecil saja buatan Belanda, negara-negara-kecil boneka, yang diperintah oleh segerombolan kecil orang-orang bangsa kita yang menjadi kaki-tangan penjajah Belanda, sedang Rakyat tidak dibawa-bawa. Dan sebagai yang tepat setahun yang lalu di dalam pidato-ulang-tahun Republik yang pertama juga sudah saya katakan: Jikalau Republik binasa, maka keadilan akan binasa, maka demokrasi akan binasa, maka moral akan binasa, maka keamanan-dan-ketenteraman akan binasa, maka kesejahteraan akan binasa, maka perekonomian-dunia akan binasa! Dan sebagai gantinya, akan datang kekacauan terus-menerus.

Karena itu, pertahankanlah keselamatan modal ini! Dan di front luar Indonesia pun, kita akan berjuang terus, dan saya berseru kepada semua kawan di luar negeri: – tolonglah, tetap tolonglah perjuangan kita yang adil ini!

Kita ketahui, pihak Belanda dan alat-alatnya akan menentang hal ini dengan segala jalan yang dapat mereka pakai. Pengalaman tentang hal ini telah ada pada kita: Kapal-terbang seorang sahabat dari India, dikemudikan oleh sahabat dari Australia dan sahabat dari Inggeris, yang membawa obat-obatan sebagai tanda-kasih kepada sesama manusia yang menderita, ditembak jatuh oleh Belanda, dan masih berani mereka berkata, bahwa kapal-terbang itu tidakditembak jatuh oleh mereka, melainkan hanya diberi “tembakan peringatan" saja!

Paduka Tuan Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat! Seluruh bangsaku yang kucintai!
Pertikaian kita dengan Belanda belum selesai. Ceasefire sudah saya perintahkan, tetapi pertikaian kita dengan Belanda belum selesai! Pada hari ulang-tahun Republik yang sekarang ini, kita menyatakan tekad kita-bersama yang laksana waja, untuk meneruskan, sekali lagi: meneruskan perjuangan kita ini sampai cita-cita kita tercapai. Sudah beribu-ribu pahlawan kita sejak 17 Agustus 1945 mati di medan pertempuran, sudah beribu-ribu pemuda kita ditangkap dan disiksa oleh Belanda, sudah berpuluh-puluh ribu rakyat kita di Sulawesi Selatan dibunuh secara kejam, sudah ratusan ribu rakyat kita terusir dari halaman perumahannya. Kepada pahlawan-pahlawan kita yang gugur itu, dan kepada rakyat kita yang dibunuh itu, kita menyatakan hormat kita yang sedalam-dalamnya, terima kasihnya bangsa yang abadi. Moga-moga Tuhan yang Maha-Penyayang memberikan kelapangan kepada mereka di akhirat selama-lamanya.

Kita berjuang terus. Jalan lain tidak ada. Kita, yang memang pencinta damai itu, kita sedia kepada perdamaian, – tetapi perdamaian yang atas dasar kebenaran, atas dasar kehormatan, atas dasar satu Republik yang cukup mem-beri jaminan bagi perjoangan kita untuk menyelesaikan revolusi Indonesia.
Apa, apakah yang dikehendaki Belanda itu dengan agresinya, kalau tidak untuk menguasai daerah-daerah Republik yang paling kaya, yang paling gemuk, dengan bruut geweld? “Kepolisian" untuk mendatangkan “keamanan"? Tidak ada keamanan, tidak ada ketenteraman, kalau kemerdekaan kita dilanggar. Bayonet adalah baik sekali untuk bertempur, tetapi bayonet tidak baik untuk duduk di atasnya. Seluruh rakyat Republik sudah tahu rasanya merdeka dua tahun, seluruh rakyat Republik akan tetap berikhtiar dengan jalan apapun juga untuk merebut kembali kemerdekaan itu sepenuh-penuhnya. Dan sebelum kemerdekaan ini terdapat kembali sepenuh-penuhnya, – tidak ada keamanan, tidak ada ketenteraman, tidak ada perdamaian!

Tidak ada perdamaian, sebelum ada damai di hati kita! Dan hati kita itu akan tetap tidak damai, akan tetap memberontak, selama kemerdekaan negara kita belum kembali sepenuh-penuhnya. Belanda dapat merampas tanah kita dengan tank dan meriamnya, dapat merampas rumah kita, dapat merampas kekayaan kita, ya, dapat merampas jiwa kita, membunuh kita, tetapi ia tidak dapat merampas hati kita yang cinta kepada kemerdekaan itu. Kemerdekaan adalah bersemayam dalam hati manusia, – freedom dwells in the hearts of men –, dan tidak ada satu senjata duniawipun dapat menaklukkan dia di tempat itu!

Ya tentu, Belanda dapat memaksa rakyat di tempat-tempat yang didudukinya, dengan ujung bedil dan ujung bayonet, untuk menuruti perintah-perintahnya dan untuk mengindahkan larangan-larangannya. Alva pun berbuat demikian, Seys Inquart pun berbuat demikian. Tetapi tanah yang diinjak oleh Belanda itu, berisi kawah-api di dalamnya! Keamanan dan ketenteraman masih ada lain lagi daripada mentaati beberapa “gij zult nieten"!

Saudara-saudara di tempat-tempat yang diduduki oleh Belanda hari ini tidak boleh merayakan hari-ulang-tahun kemerdekaan kita. Kalau memang tidak mungkin mengadakan perayaan terang-terangan, rayakanlah hari ini di dalam hati saudara-saudara! Di sana perayaan itu aman, di sana Belanda tidak dapat mengganggu, di sana perayaan itu disaksikan oleh Maha-Saksi yang memberi berkat kepadanja. Di sana perayaan itu disaksikan Tuhan. Percayalah, Insya Allah subhanahu wa ta’ala, satu hari pasti akan datang, yang Tuhan akan memerdekakan kepada saudara-saudara.

Rakyat Indonesia yang kucintai! Peliharalah persatuan! Sesudah Belanda menggempur kita dengan bom dan meriamnya, sesudah ia menyerbu beberapa daerah kita, sesudah ia membunuh, mengedrel pemuda-pemuda kita, maka segera mulailah ia dengan politiknya divide et impera, politiknya memecah-mecah, politiknya verdeel en heers!, – politiknya verdeel en beheers! Negara-negara-boneka kecil hendak didirikannya, kaki-tangan-kaki-tangannya telah tersedia laksana serigala menunggu daging. Jagalah persatuan, sekali lagi jagalah persatuan! Jangan kena diabui mata oleh kaki-tangan-kaki-tangan imperialis itu! Ingatlah kepada pesanan yang telah kusampaikan ratusan, ribuan kali kepada segenap rakyat Indonesia: Manakala pihak imperialis menjalankan politik memecah-belah, manakala mereka bersemboyan divide et impera!, verdeel en heers!, verdeel en beheers!, maka kita bangsa Indonesia yang 70.000.000 itu harus bersemboyan “vereenig en regeerl",: "bersatu, dan berkuasa!“, dan menjalankan apa yang disemboyankan itu dengan cara yang setabah-tabahnya.

Dua tahun kita telah merdeka. Dua tahun Republik telah berdiri berkat persatuan itu, dan walaupun Republik pada saat ini mengalami percobaan yang terhebat dalam hidupnya, – dengan persatuan yang lebih erat dan dengan bantuannya kawan-kawan di luar negeri, saya percaya: kita akan menang!
Gemblengkanlah segala kemauan-kemauan individuil menjadi satu Maha-Kemauan-Bangsa, dan Maha-Kemauan-Bangsa ini harus digembleng lebih kuat daripada penderitaan apapun, daripada bahaya apapun. Dan bilamana Maha-Kemauan ini lebih kuat daripada penderitaan apapun dan bahaya apapun, maka ia akhirnya akan mematahkanpenderitaan apapun dan bahaya apapun!

Rawe-rawe rantas, malang-malang putung!
Dua tahun kita telah merdeka!
Pintu gerbang tahun ketiga, di muka kita!
Mari berjalan terus!
Dengan gigi menggigit, mari berjalan terus!
Tuhan beserta kita!
Hidup Republik Indonesia!
Hidup demokrasi!
Sekali merdeka, tetap merdeka!

Komentar