BLANTERORIONv101

#17 GERBONG HIJRAH HOS COKROAMINOTO

26 Agustus 2022
HOS Cokroaminoto pemimpin Sarekat Islam ini dapatlah kita katakan merupakan seorang tokoh sentral dari kebangkitan nasional. Perjuangannya yang berbasis integrasi Islam dan nasionalisme tidak dapat kita pungkiri sangat memberi pengaruh terhadap arah perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia masa itu. Bung Karno sendiri yang kita kenal sebagai seorang tokoh sentral perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia, yang juga adalah murid terbaik dari HOS Coktoaminoto ini, pun sangat terlihat warna pergerakannya yang berbasis integrasi Islam dan nasionalisme itu. Dan nampaknya Kiai Ageng Hasan Besari yang adalah kakek buyut dari HOS Cokroaminoto, yang tentangnya Gus Dur pernah berkata: “Kiai Hasan Besari merupakan monumen berpadunya antara Islam dan Nasionalisme”, turut memberi pengaruh terhadapat alam pemikiran HOS Cokroaminoto. Meski tidak seperti tokoh-tokoh besar yang pernah berguru langsung kepada Kiai Hasan Besari seperti halnya Sri Sultan Pakubuwana II, Pangeran Diponogoro, Ronggowarsito dan Sultan Kartasura misalnya, namun HOS Cokroaminoto sempat pula mengenyam pendidikan dan menyerap ilmu dan pemikiran Kiai Hasan Besari ini dengan menjadi santri di Pesantren kakek buyutnya itu. 

Hijrah adalah satu kata yang sangat melekat pada diri HOS Cokroaminoto. Bahkan bisa kita katakan bahwa rangakian panjang perjalanan hidup HOS Cokroaminoto ini adalah sebuah perjalanan Hijrah. Hijrah bagi HOS Cokroaminoto bukan sekedar bermakna berpindah dari satu tempat ke tempat lain, tapi juga bermakna filosifis dan bersifat multi-dimensi dimana hijrah berarti melakukan perubahan terus menerus menuju sebaik-baiknya keadaan dalam segala hal. Perjalanan hijrah HOS Cokroaminoto adalah perjalanan menuju kepada “setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid dan sepintar-pintar siasat”. Karenanya itu, pendidikan, akhlak dan politik menjadi aspek-aspek penting di dalam pergerakannya. Jadi bukan hanya diri HOS Cokro sendiri yang harus berhijrah melainkan seluruh masyarakat menuju kepada peradaban yang lebih baik. Maka, perjuangan menentang penjajah yang oleh HOS Cokro dianggap hanya menjadikan masyarakat pribumi seperti sapi perah yang diambil susu dan dagingnya untuk menghidupi pemerintah Belanda, itu juga adalah bagian dari hijrah. Dan perjuangan menggalang persatuan seluruh nusantara untuk memperoleh zelfbestuur atau pemerintahan sendiri yang dilakukan oleh HOS Cokro tersebut, itu juga adalah bagian dari hijrah itu. 

Gerbong hijrah HOS Cokroaminoto yang bergerak mengikuti tarikan lokomotif kehendak zaman itu, dapat kita katakan merupakan gerbong utama dan terbesar kala itu. Pengaruh HOS Cokro yang dijuluki “Raja Jawa Tanpa Mahkota” oleh pemerintah Belanda ini; yang dijuluki “Ratu Adil” oleh masyarakat Jawa ini; dan yang dijuluki sebagai “Godfather Tokoh-tokoh Pergerakan Nasional” oleh para sejarawan modern ini, memanglah terbilang sangat besar. Sarekat Islam pada masa kepemimpinannya tumbuh menjadi organisasi terbesar dengan anggota mencapai 2,5 juta orang. Tokoh-tokoh penting pergerakan nasional seperti Bung Karno, Tan Malaka, Kartoswiryo, Alimin, Musso dan Samoen adalah diantara mereka yang pernah menimba ilmu darinya dan menjadi bagian dari gerbong hijrah HOS Cokroaminoto ini. Kisah tiga murid penting HOS Cokro yang membelah perjalanan sejarah Indonesia dalam tiga arus ideologi: Islamisme, Nasionalisme dan Komunisme pun menjadi bagian yang kisah yang tertulis permanen dalam sejarah bangsa ini.

Jika kita mengkaji karya-karya pemikiran HOS Cokroaminoto dari buku-buku yang ditulisnya: Moslem Nationaal Onderwijs (Pendidikan Kebangsaan Untuk Muslim), Islam dan Nasionalisme, Tarikh Igama Islam, Memeriksa Alam Kebenaran serta Islam dan Sosialisme, yang mana buku-buku ini juga adalah bahan pendidikan kader-kader SI, kita mendapati bahwa sebenarnya HOS Cokro bukan saja mengintegrasikan Islam dan Nasionalisme di dalam pergerakannya tapi lebih jauh lagi adalah mengitegrasikan Islam, Nasionalisme dan Sosialisme. Dalam pandangan HOS Cokroaminoto nasionalisme dan sosialisme ada di dalam Islam dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Islam itu sendiri. Karenanya tidak mengherankan jika selain dapat kita sebut bahwa HOS Cokro adalah pemimpin organisasi pertama yang secara terbuka pada Kongres Nasional Pertama Central Sarekat Islam tahun 1916 meyampaikan gagasan Indonesia merdeka dengan pemerintahannya sendiri, ia juga menyampaikan bahwa sistem pemerintahan tersebut akan dijalankan berdasarkan sistem demokrasi. 

Dari pada itu kita dapat melihat, dari ketiga murid utama HOS Cokroaminoto: Bung Karno, Samaoen, dan Kartoswiryo yang membelah arus perjalanan sejarah Indonesia yang dirintis HOS Cokro menjadi tiga aliran besar Islam, Nasionalisme dan Komunisme itu, siapakah dari mereka yang telah menyimpang dari arus sejarah dan siapakah yang berjalan lurus mengikuti arus sejarah. Dan satu-satunya yang tetap lurus mengitegrasikan Islam, Nasionalisme dan Sosialisme dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia adalah Bung Karno. Bung Karno meski lebih dikenal sebagai seorang nasionalis, namun Bung Karno tidak pernah menafikan Islam dan Sosialisme dalam perjuangannya. Sejak 1926 Bung Karno telah mencetuskan gagasan untuk mengitegrasikan ketiga ideologi tersebut dalam tulisannya yang berjudul: “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme. Dan 30 tahun kemudian Bung Karno bahkan memperkuat hal tersebut dengan melahirkan konsep NASAKOM yang dikemudian waktu karena banyak kesalahpahaman tentang ini Bung Karno juga menyebutnya dengan sebutan NASASOS. Nasionalisme, Agama dan Sosialisme.

Tentang NASAKOM atau NASASOS ini memang ada banyak sekali pertentangan dan kesalahpahaman mengenainya. Yang mana sebenarnya inti dari maksud Bung Karno adalah untuk mewujudkan persatuan yang bulat mutlak tanpa mengecualikan satu lapisan dan golongan. Jadi ketiga golongan tersebut tidak boleh berseteru dan membangun permusuhan satu dengan yang lain. Terlebih-lebih ketiga kelompok besar ini sebenarnya sama-sama berjuang untuk menghantam imperialisme dan kolononialisme. Jadi musuh yang sebenarnya adalah kaum imperialis dan kolonialis itu. Bukan malah sesama kelompok yang ada ditubuh bangsa itu sendiri yang saling gontok-gontokan. Maka menurut Bung Karno, yang nasionalis tidak boleh menafikan golongan agamis dan sosialis, yang agamis tidak boleh menafikan golongan nasionalis dan sosialis, dan yang sosialis tidak boleh menafikan golongan nasionalis dan agamis. Siapapun atau golongan yang mana pun yang berjalan sendiri-sendiri tanpa bekerja sama dengan yang lain, terlebih lagi malah mengambil sikap permusuhan dengan yang lain maka ia menjadi salah. Memang jika kita melihat realitas hari ini kita bisa katakan istilah tersebut tidak perlu lagi kita gunakan dan cukup semboyan Bhinneka Tunggal Ika itu saja yang kita jadikan sebagai spirit kita untuk membangun persatuan yang bulat mutlak tanpa mengecualikan satu golongan dan lapisan itu. Karena toh memang itulah esensi dari maksud Bung Karno itu.

HOS Cokroaminoto sendiri dengan keislamanannya yang kuat itu, sama sekali tidak menafikan paham nasionalisme dan sosialisme itu di dalam ajaran dan pergerakannya. Bahkan jika kita menengok kepada tujuan dan sistem pendidikan yang dibangun HOS Cokro dalam “Moslem Nationaal Onderwijs” atau Pendidikan Kebangsaan Untuk Muslim itu, disebutkan padanya: “pengajaran yang diberikan di dalamnya haruslah pengajaran yang mengadung pendidikan yang akan menjadikan muslim yang sejati sekaligus menjadi seorang nasionalis yang berjiwa besar dan penuh kepercayaan kepada diri sendiri” (Amelz, 1950). Dan dalam bukunya “Islam dan Sosialisme”, meski kita mendapati ketidaksetujuannya dengan sosialisme Karl Marx dalam perkara menafikan agama dan bersandar kepada meterialisme itu, namun dalam perkara kesamaan cita-cita untuk menghapuskan kapitalisme yang oleh HOS Cokro disebut sebagai bentuk tindakan memakan riba, hal ini sejalan dengan cita-cita Islam itu sendiri menurut HOS Cokro.

“Bahwa menghisap keringatnya orang-orang yang bekerja, memakan hasil pekerjaan lain orang, tidak memberikan bagian keuntungan yang mestinya (dengan seharusnya) menjadi bahagian lain orang yang turut bekerja mengeluarkan keuntungan –semua perbuatan yang serupa itu oleh Karl Marx disebut memakan keuntungan "meerwaarde" adalah dilarang dengan sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah perbuatan "riba" belaka. Dengan begitu maka nyatalah agama Islam memerangi kapitalisme sampai pada "akarnya", membunuh kapitalisme mulai dari pada benihnya. Oleh karena pertama-tama sekali yang menjadi dasarnya kapitalisme, yaitu memakan keuntungan meerwaarde sepanjang fahamnya Karl Marx dan "memakan riba", sepanjang fahamnya Islam” (Islam dan Sosialisme – HOS Cokroaminoto)

Sarekat Islam dan HOS. Cokroaminoto meski boleh dibilang adalah yang mula-mula menggemakan secara terbuka tentang ide pemerintahan sendiri dan kemerdekaan Indonesia, namun tentu bukan satu-satunya organisasi dan satu-satunya tokoh yang berjuang ke arah kemerdekaan Indonesia itu. HOS Cokroaminoto sendiri memang telah mempredikisi bahwa gerakan-gerakan kemerdekaan yang masih seumpama aliran-aliran air yang mengalir pada waktu itu pada akhirnya akan menjadi sebuah banjir besar. Di tahun 1916 ia melihat: “Orang semakin lama semakin merasakan, baik di Nederland maupun di Hindia, bahwa zelfbestuur (pemerintahan sendiri) sungguh diperlukan. Orang semakin lama semakin merasakan, bahwa tidak pantas lagi Hindia diperintah oleh negeri Belanda, bagaikan seorang tuan tanah yang menguasai tanah-tanahnya,” (HOS. Tjokroaminoto)

Jadi meski HOS Cokroaminoto tidak lagi berada di dalam gerbong hijrah yang digagasnya itu dan meninggalkan bangsa ini di tahun 1934, namun gerbong hijrahnya itu terus melaju dalam tarikan lokomotif zaman sampai dengan hari ini. Sebagaimana konsepsi hijrah yang dalam pandangan HOS Cokroaminoto adalah melakukan perubahan terus menerus menuju sebaik-baiknya keadaan dalam segala hal atau menuju kepada “setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid dan sepintar-pintar siasat itu, maka seluruh rangkaian panjang perjalanan bangsa Indonesia menuju cita-cita revolusinya itu sesunggunya adalah satu gerak hijrah. Satu gerak yang dalam bahasa Bung Karno bersifat progresif revolusioner menuju kepada terwujudnya dunia baru. Satu dunia tanpa eksploitasi manusia atas manusia dan eskploitasi bangsa atas bangsa di dalamnya. 

Maka hendaklah kita benar-benar memperhatikan tiga anasir yang sejak mula-mula telah HOS Cokroaminoto ajarakan kepada kita. Tiga anasir yang menjadi titik temu antara ajaran Islam, Nasionalisme dan Sosialisme itu: kemerdekaan, kesetaraan dan persaudaraan. Ketiga anasir itulah yang sesungguhnya sejak awal menjiwai pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia itu. Karenanya bagi mereka yang mengenali ketiga anasir dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia itu, mereka akan tahu betul bahwa NKRI dengan UUD 9145, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ikanya ini sesungguhnya adalah manifesto terbaik dari cita-cita perjuangan kita itu. Dan adalah manifesto terbaik dari ajaran Islam itu sendiri.

Komentar