Sebagaimana kita telah bahas pada kajian-kajian sebelum ini yang menerangkan bahwa Piagam Madinah yang hadir untuk mewujudkan peradaban super damai itu; dengan sistem kepemimpinan daulat rakyatnya itu; dengan sistem persatuan ummat yang tidak terhalangi oleh rupa perbedaan suku, golongan, ras dan agama itu; juga sistem persatuan interummat yang lepas sepenuhnya dari budaya takluk menaklukan dan jalan perang yang penuh pertumpahan darahnya itu, telah terjeda kemurnian implementasinya dengan kahadiran maklumat surat At-Taubah. Dan bahwa kehadiran surat At-Taubah yang tak berbasmallah itu tidaklah hadir untuk menasakhkan Piagam Madinah melainkan hadir sebagai respon keadaan zaman yang masih belum memenuhi syarat bagi terlaksananya peradaban super damai ala Piagam Madinah itu. Maka datangnya zaman baru; zaman kemerdekaan kebangsaan; zaman dimana setiap bangsa telah berdiri di atas tanah-airnya masing-masing secara berdaulat, menjadi sebuah pertanda akan keharusan untuk tegaknya konsepsi Piagam Madinah dengan semurni-murninya.
Menyadari bahwa hari ini kita telah berdiri di atas zaman baru itu; di zaman kemerdekaan kebangsaan itu; dan telah meninggalkan zaman imeperiumisme itu, adalah sebuah perkara penting karena setiap zaman atau setiap umat itu punya syariatnya masing-masing. Karenanya kita tidak bisa menjiplak total apa-apa yang berlaku di masa yang lalu. Sebab apa-apa yang baik dan benar di zaman yang lalu belumlah tentu baik dan benar bagi zaman ini; dan apa-apa yang baik dan benar untuk zaman ini belumlah tentu juga baik dan benar untuk zaman yang lalu. Kekhalifahan Daud dengan sistem kepemimpinan daulat raja dan sistem dinastinya itu, dapatlah dikatakan baik dan benar pada masanya. Tapi dinasakhkannya syariat bernegara ala raja-raja Israil secara simbolik oleh Nabi Isa dan secara terbuka dan nyata oleh Nabi Muhammad, tentu karena sebab hal tersebut tidak lagi kompatibel dengan zamannya. Maka ketika dinasti-dinasti Islam menjiplak apa-apa yang berlaku di zaman raja-raja Israil itu dapatlah tegas kita katakan bahwa itu adalah salah besar.
“Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari'at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari'at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.” (QS. Al-Hajj [22]:67)
Kita tentu tidak menafikkan bahwa dinasti-dinasti Islam era Umayyah sampai dengan Utsmaniyah itu telah banyak berjasa membawa ajaran Islam keberbagai belahan dunia, namun kita juga tidak boleh menjadikan cara-cara mereka yang salah secara syariat sebagai rujukan dalam urusan bernegara. Tidak mengherankan memang jika dinasti-dinasti Islam tersebut di dalam hadits 5 fase zaman itu disebut dengan sebutan Mulkan Adhon dan bahkan ada kalanya juga mereka mengambil peran sebagai Mulkan Jabariyyah. Singkatnya, apa yang Nabi Muhammad maksud dengan sistem pemerintahan yang diridhoi atau Khilafah Ala Minhajin Nubuwwah itu tidaklah tertaut pada dinasti-dinasti Islam itu.
Ketika Islam hadir di tanah Arab, di masa itu dunia memang masih terjerat dalam sistem imperiumisme dan jalan perang sebagai jalan membangun eksistensi dan kejayaan. Bahkan peradaban Islam yang dibangun oleh Nabi Muhammad kala itu diapit oleh dua imperium besar Romawi dan Persia. Di negeri kita ini pun di masa tumbuhnya peradaban Islam tersebut berdiri sebuah imperium besar yang bernama Kerajaan Sriwijaya. Dan di sepanjang perjalanan membesarnya imperium Islam; serta keberhasilannya menaklukan imperium-imperium non Islam seperti Romawi dan Persia, di sisi yang lain bermunculan pula imperium-imperium baru non Islam yang sama-sama berambisi untuk memperluas daerah kekuasaannya. Maka tidak pelak lagi benturan dan perang yang mempertumpahkan darah antar imperium itu pun terjadi di sepanjang perjalanan peradaban Islam ini.
Salah satu benturan hebat antar imperium, selain dari benturan besar Imperium Islam dengan Imperium Romawi dan Persia, adalah benturan imperium Islam dengan imperium Mongol yang mengakibatkan Kota Baghdad sebagai jatung peradaban Islam kala itu luluh lantah bersimbah darah ratusan ribu korban kebengisan Imperium Mongol tersebut. Bukan hanya itu, bahkan Khalifah Al-Mustasim penguasa Baghdad kala itu turut dibantai secara keji beserta dengan keluarganya. Dasyatnya pembantaian yang terjadi di Baghdad ini digambar sungai Tigris berubah warna menjadi merah darah bercampur hitam akibat banyaknya darah yang tumpah dan tinta dari banyaknya buku dan manuskrip yang dimusnahkan. Dan selain dari cerita itu, tentu terdapat banyak cerita lainnya tentang bagaimana zaman imperiumisme ini membawa manusia ke dalam budaya saling mempertumpahkan darah sesamanya.
“Katakanlah (Muhammad), “Dialah yang berkuasa mengirimkan azab kepadamu, dari atas atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebagian kamu keganasan sebagian yang lain.” Perhatikanlah, bagaimana Kami menjelaskan berulang-ulang tanda-tanda (kekuasaan Kami) agar mereka memahami(nya).” (QS. Al-An’am [6]:65)
Tidak bisa kita pungkiri bahwa imperiumisme dengan jalan perangnya itu telah membawa manusia ke dalam jerat permusuh-musuhan dimana setiap golongan mau tidak mau harus merasakan keganasan golongan yang lain. Kita harus mengakui dengan nyata bahwa imperiumisme adalah sebuah kedurhakaan yang nyata kepada Allah Tuhan Pencipta Semesta Alam. Karena Allah tentu tidak menghendaki umat manusia untuk saling menzalimi satu sama lain. Yang Allah kehendaki justru adalah tegaknya sistem dimana setiap orang dan golongan saling menghidupkan satu dengan yang lain. Imperiumisme yang menjadi induk dari pada imperialisme dan kolonialisme ini justru telah melahirkan masa di mana musuh paling mengerikan bagi manusia adalah manusia lainnya.
Era imperium yang berlangsung sangat panjang dalam sejarah peradaban umat manusia ini, dimana peradaban Islam pun tidak dapat menghidar untuk tidak turut serta masuk ke dalam budaya imperiumisme dengan jalan perangnya itu, telah membuat syariat bernegara ala Piagam Madinah yang Rasulullah wujudkan dalam tatanan Negara Madinah itu harus terjeda untuk terwujud secara murni dan total. Sebab memang satu-satunya yang bisa menghentikan era imperiumisme ini adalah alam itu sendiri. Umat manusia harus terlebih dulu merasakan akibat langsung dari pilihan keliru yang diambilnya itu. Merasakan penderitaan atas kedurhakaannya kepada fitrah penciptaannya sendiri. Dan akhirnya masa dimana imperium-imperium besar dunia harus bertabrakan dan membuatnya hancur menjadi kepingan-kepingan bangsa yang berdaulat pun datang juga.
Dinasti Utsmaniyah yang kita kenal sebagai kerjaan Islam terbesar di sepanjang sejarah Islam ini menandai kejayaannya dengan penaklukan Kontatinopel di abad ke 15. Dan di masa Dinasti Utsmaniyah mengelola kejayaannya dengan menjadikan Konstinopel sebagai pusat kekuasaanya itu, di sisi yang lain di masa itu Bangsa Eropa mulai menggeliat lahir untuk menjemput kejayaannya. Masa bangkitnya Bangsa Eropa dari kegelapan yang dikenal dengan Ranaisans itu telah melahirkan imperium-imperium baru yang turut meramaikan hiruk pikuk penjajahan dan peperangan yang banyak menumpahkan darah manusia itu. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi di Eropa ditambah tuntutan kebutuhan rempah-rempah yang sulit terpenuhi akibat blokade jalur perdagangan oleh Turki Utmani membuat bangsa-bangsa Eropa ini memulai misi penjelajahan dan penjajahan ke negeri-negeri baru di abad ke 16.
Maka disepanjang abad ke 16 sampai dengan abad ke 20, dunia ini berada dalam kemelut perebutan wilayah imperium-imperium dunia. Imperium Turki Utsmani, Imperium Britania, Imperium Portugis, Imperium Spanyol, Imperium Belanda, Imperium Italia, Imperium Prancis, Imperium Jerman Nazi, Imperium Amerika, Kekaisaran Meksiko, Kekaisaran Rusia, Dinasti Qing, Imperium Brasil dan Kekaisaran Jepang adalah imperium-imperium yang di sepanjang abad 16 sampai dengan abad 20 itu telah menyeret dunia kepada perseteruan perebutan wilayah kekuasaan yang diwarnai oleh penaklukan, penjajahan, perbudakan dan pertumpahan darah. Dan dipertengahan abad ke 20 puncak perebutan kekuasaan antar imperium ini membawa dunia kepada perang terbesar di sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Perang dunia ke 2 yang melibatkan puluhan negara saling bunuh dan hancurkan ini telah menewasakan 55 juta manusia. Dimana itu artinya 275 juta liter darah manusia yang ditumpahkan selama 6 tahun perang itu berlangsung.
Di tengah kemelut imperium yang saling memperbutkan kekuasaan itu, Dinasti Islam Turki Utsmani pun perlahan mulai tergerogoti daerah kekuasaannya oleh Imperium Eropa. Satu demi satu wilayahnya lepas. Di samping itu kungkungan sistem monarki Islam telah melahirkan gerakan-gerakan nasionalisme yang mengarah kepada terwujudnya kedaulatan rakyat. Gerakan yang dipimpin oleh Mustafa Kemal Ataturk itu berhasil menghapuskan kesultanan pada tahun 1922 dan menjadikan kedaultan berada di tangan Majelis Nasional Agung dan Majelis Negara. Sementara itu kedukukan khalifah hanya simbol keislaman saja. Di tahun 1923 tapatnya pada tanggal 29 Oktober, Majelis Nasional Agung dalam sidangnya memutuskan Turki menjadi republik dan mengangkat Mustafa Kemal menjadi presiden pertama. Hal itu berlanjut dengan usulan Mustafa Kemal kepada Majelis Agung Nasional untuk menghapuskan jabatan khalifah. Dan di tahun 1924 sidang Majelis Nasional Agung yang berlangsung sejak bulan Februari 1924 itu akhirnya memutuskan menghapus jabatan khalifah pada 3 Maret 1924. Khalifahan Turki Utsmani pun menutup kisah perjalanan dinasti-dinasti Islam.
Sementara Imperium Turki Utsmani telah keluar dari gelanggang perebutan kekuasaan antar imperium, imperium-imperium lainnya masih terus bertikai untuk menjadi penguasa tertinggi tatanan dunia. Perang Dunia ke 2 yang membelah imperium-imperium penjajah ke dalam dua aliasi besar Blok Sekutu dan Blok Poros menjadi gelanggang terbesar adu kekuatan imperium dunia yang menyeret puluhan negara dalam perang panjang di dalamnya. Pada dasarnya imperium-imperium dunia yang telah bertikai beradab-abad lamanya itu telah jauh-jauh hari menyadari kerugian peperangan bagi peradaban umat manusia. Hal ini ditandai dengan dibentuknya Liga Bangsa Bangsa yang dimaksudkan untuk mencegah perang dan menjaga perdamaian dunia pada tahun 1920 usai Perang Dunia Pertama. Namun landasan perdamaian bangsa-bangsa yang rapuh dan masih kuatnya ambisi untuk menjadi penguasa dunia di dalam kepala bangsa-bangsa penjajah ini, akhirnya meyeret kembali umat manusia dalam Perang Dunia Kedua yang menewaskan 55 juta manusia itu.
Kerusakan yang begitu hebat, perderitaan yang luas dan kehancuran yang nyata akibat Perang Dunia Kedua telah membawa kesadaran baru bagi umat manusia untuk membawa dunia menuju peradaban yang lebih baik. Bom atom yang dijatuhkan Sekutu di Nagasaki yang menewaskan 74.000 orang dan di Hirosima yang menewaskan 140.000 orang itu telah merubah paradigma bangsa-bangsa akan bahaya perang bagi peradaban manusia. Bom atom Hirosima yang menandai kemenangan Sekutu dan menjadi akhir kisah Perang Dunia Kedua ini telah mendorong bangsa-bangsa pemenang perang itu untuk melahirkan Perserikatan Bangsa Bangsa yang keberadaannya dimaksudkan untuk menjaga perdamaian dunia. Namun begitu, meski tentu keberadaan PBB ini menjadi cikal-bakal yang bagus bagi perdamaian dunia, namun keberadaan hak veto yang dipegang oleh 5 negara tokoh utama pemenang perang ini menjadi PR tersediri. Hak veto yang memungkinkan bahkan 1 negara pemilik veto ini dapat menjadi penentu sah atu tidaknya keputusan Dewan Keamanan PBB itu, tentu bukanlah sebuah ladasan yang kuat untuk menjamin terciptanya keadilan sosial bagi seluruh bangsa-bangsa dunia.
Terlepas dari PR besar yang masih ada di PBB, namun kehadiran PBB ini pula yang mendorong terbentuknya negara-negara berdaulat yang kala itu menjadi korban penjajahan bangsa-bangsa imperialis. Praktis di pengujung abad ke 20, 95% negara-negara yang ada di dunia ini telah berdiri menjadi negara yang beradaulat. Inilah zaman baru yang ditunggu-tunggu itu. Inilah zaman kemerdekaan kebangsaan yang kehadirannya menjadi prasyarat dapat tegaknya syariat bernegara ala Piagam Madinah itu. Inilah zaman dimana setiap bangsa telah duduk di atas tanah airnya masing-masing secara berdaulat. Maka datangnya zaman kemerdekaan kebangsaan ini, menjadi tanda telah habisnya masa maklumat surat At-Taubat yang mengizinkan perang dan penaklukan itu.
Bangsa Indonesia yang memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, bisa dikatakan menjadi satu-satunya bangsa yang bersama dengan perpindahan zaman dari zaman imperiumisme ke zaman nasionalisme itu, melakukan hijrah secara kaffah baik fisik maupun mental; baik raga maupun jiwa ke alam dunia baru tersebut. Masuk sepenuhnya ke alam kemerdekaan kebangsaan dan masuk sepenuhnya ke dunia baru tanpa eksploitasi manusia atas manusia bangsa atas bangsa. Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah jembatan emas yang membawa Bangsa Indonesia berhijrah secara total dari dunia lama kepada dunia baru itu. Melaluinya bangsa Indonesia lahir menjadi sebuah bangsa yang berdaulat atas tanah airnya sendiri sekaligus bersamanya bangsa Indonesia hadir membawa prinsip-prinsip luhur bagi tatanan dunia baru.
Amanat Proklamasi 17 Agustus 1945 yang berisi maklumat penataan perdabaan umat manusia sebagai mana termuat dalam Deklarasi Kemerdekaan Indonesia atau Preambule itu, adalah landasan yang kuat bagi terwujudnya dunia baru. Bagi terwujudnya peradaban yang dicita-citakan Rasulullah melalui Piagam Madinahnya itu. Deklarasi Kemerdekaan Indonesia yang adalah juga Pembukaan Undang-udang Dasar 1945 itu, berisi maklumat persaudaraan umat manusia dan pembatalan atas segala bentuk penjajahan di atas dunia ini atas nama Perikemanusiaan dan Perikeadilan. Deklarasi Kemerdekaan Indonesia menyatakan dengan tegas:
“Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” (Alinea 1 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945)
Hadirnya prinsip kemerdekaan yang adalah pilar pertama dari tatanan sosial Islam yang darinyalah lahir prinsip kesetaraan dan persaudaraan itu; dan hadirnya maklumat menghapuskan segala bentuk penjajah dari atas dunia atas nama perikemanusiaan dan perikeadilan, yang berarti juga merupakan maklumat yang membatalkan jalan perang sebagai jalan hidup bangsa-bangsa, adalah sama hal dengan menekan tombol “play again” bagi Piagam Madinah yang telah terjeda dalam waktu yang panjang oleh maklumat surat At-Taubah yang menghalalkan permusuhan, pertumpahan darah dan perang itu. Maka dari pada itu, kelahiran bangsa Indonesia di zaman baru dengan revolusi dunia baru yang dibawanya itu, merupakan titik baru bagi peradaban damai yang dinantikan dan titik awal dari penggenapan Piagam Madinah. Tentang hal ini akan kita bahas dalam kajian kita di waktu yang lain.
Social Media