BLANTERORIONv101

#14 PIAGAM MADINAH ITU MINHAJ NUBUWWAH ITU

11 Juni 2022
Piagam Madinah ini harus kita pahami sebagai puncak pencapaian dalam estafeta panjang para nabi membentuk peradaban umat manusia. Nabi Muhammad telah menutup rangkaian panjang perjalanan para nabi dengan mewariskan satu syariat bernegara untuk menjadi rujukan umat manusia. Syariat bernegara yang Nabi Muhammad manifestasikan pada Negara Madinah tersebut menjadi jawaban atas PR besar yang Allah hadirkan kepada manusia sejak pertama diturunkanya Nabi Adam di atas bumi. PR besar permusuh-musuhan disepanjang jalan peradaban umat manusia yang telah Allah nyatakan sejak awal diturunkannya Nabi Adam di atas bumi dengan kalimat “sebagian kamu akan menjadi musuh bagi sebagaian yang lain” itu, terjawab dengan konsepsi bernegara ala Piagam Madinah ini.
 
Sejak awal memang Allah telah menjanjikan kepada umat manusia melalui Nabi Adam bahwa Ia akan mendatangkan pentunjuk bagi penyelesaian perkara permusuh-musuhan itu. Dan dengan apa yang Nabi Muhammad contohkan melalui tatanan Negara Madinah ini menjadi lengkaplah rangkaian petunjuk bagi umat manusia untuk membangun peradaban damai tanpa pertumpahan darah sebagaimana yang divisikan Allah sejak mula-mula. Rangkaian pentunjuk itu bermula dari titik pertemuan Nabi Adam dan Siti Hawa yang hari ini termonumentalkan dalam wujud Tugu Kasih Sayang di Jabal Rahmah padang Arafah itu, sampai dengan tatanan Negara Madinah yang Nabi Muhammad wujudkan sebagai manifestasi dari tantanan Baitullah itu. Maka dari pada itu rangkaian ibadah haji sesungguhnya merupakan rangkaian simbolik yang berisi metodelogi untuk mewujudkan tatanan ilahiyah yang terangkum dari perjalanan panjang para nabi Allah.
 
Dan demikian Kami telah menjadikan kamu, umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul menjadi saksi atas kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah [2]:143)
 
Berbicara tentang sistem bernegara, memang sebenarnya tiga hal yang paling pokok dan utama tentang itu adalah prihal: sistem kepemimpinan, sistem persatuan ummat dan persatuan interummat. Dan dari rangkaian estafeta panjang perjalanan para nabi Allah dalam membangun peradaban umat manusia, kita telah mendapati beragam model kepemimpinan, persaudaraan ummat dan persaudaraan interummmat yang dari waktu ke waktu menuju bentuk teridealnya. Dimana melalui Piagam Madinah yang berada di puncak estafeta kenabian ini kita mendapati bentuk ideal dan konkret dari pada tiga perkara penting itu. Mari kita bahas hal itu satu persatu:
 
Pertama: tentang sistem kepemimpinan. Bahwa ummat harus memiliki seorang pemimpin, ini tentu adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa kita tolak. Namun begitu, bagian paling penting dari perkara ini adalah memastikan bahwa orang yang ditunjuk sebagai pemimpin itu haruslah merupakan orang pilihan yang memiliki kapabilitas untuk menjamin terwujudnya keadilan bagi seluruh orang yang dipimpinnya. Dan melalui rangkaian pentunjuk yang ditinggalkan para nabi kepada kita, kita dapat dengan pasti mengatakan bahwa sistem terbaik untuk mengangkat seorang pemimpin adalah merujuk kepada kehendak rakyat. Bahwa seorang pemimpin haruslah merupakan pemegang amanat rakyat. Bahwa kesatuan rakyat haruslah menaruh percaya dan ridho atas siapa orang yang memimpin mereka itu.
 
Bahkan seperti yang kita ketahui bersama, Nabi Muhammad sendiri tidaklah serta-merta begitu saja mengangkat dirinya sebagai pemimpin Negara Madinah. Nabi Muhammad menjadi pemimpin Madinah karena permintaan dari masyarakat Madinah sendiri yang menghendaki dan memintanya untuk menjadi pemimpin mereka di Madinah. Masyarakat Madinah yang dilanda konflik berkepanjangan memang saat itu telah sampai pada titik lelah untuk terus menerus berada dalam kemelut konflik antar suku yang tak berujung itu. Karenanya ketika mereka mendengar kabar dakwah dan akhlak Nabi Muhammad yang mengedepankan keadilan, 12 orang penduduk Yastrid dari Suku Aus dan Suku Khazraj; dua suku dominan yang bertikai di Yastrid itu, tergerak untuk mengadakan pertemuan dengan Nabi Muhammad. Terjadilah peristiwa yang kita kenal dengan Aqabah Pertama dimana keduabelas orang dari suku Aus dan Khazraj berbait dan mengikat perjanjian kepada Nabi Muhamad.
 
Satu tahun setelah peristiwa Aqabah Pertama itu, datanglah kembali penduduk Yastrid dari Suku Aus dan Suku Khazraj tersebut bersama rombongan yang keseluruhannya berjumlah 75 orang untuk berbait dan menyampaikan permintaan agar Nabi Muhammad berhijrah ke Yastrid dan menjadi pemimpin mereka di sana untuk mempersatukan penduduk Yastrid. Dan beberapa bulan kemudian setelah itu; setelah segala sesuatunya dipersiapkan, Nabi Muhammad pun berhijrah ke Yastrid dan membangun peradaban Islam di sana. Di kota Yastrid yang kemudian berganti nama menjadi Madinah inilah Nabi Muhammad menjadi pemimpin atas daulat rakyat Madinah itu sendiri. Singkatnya, model kepemimpinan yang Nabi Muhammad bangun di Madinah ini sebenarnya adalah model kepemimpinan kerakyataan yang berkedaulatan rakyat. Nabi Muhammad menjadi pemimpin Madinah karena kepercayaan dan keridhoan rakyat Madinah kepadanya.
 
Sistem kepemimpinan yang berbasis daulat rakyat; berbasis kepercayaan dan keridhoan rakyat inilah yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad dan diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin. Nabi Muhammad telah sepenuhnya menasakhkan model kepemimpinan ala Dinasti Daud dan raja-raja Bani Israil. Karenanya selepas wafatnya Nabi Muhammad, tidaklah otomatis kepemimpinan berpindah kepada garis keturunan Nabi Muhammad itu sendiri. Bahkan Nabi Muhammad tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang harus menggantikan kepemimpinan setelahnya. Dengan kata lain, ummat sendirilah melalui permusyawaratan yang harus memutuskan siapa yang akan menjadi pemimpin atas mereka. Dan dalam rentang masa 30 tahun kepemimpinan Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar As Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, model kepemimpinan dan pergantian kepemimpinan tersebut masih dijalankan, namun di era dinasti-dinasti Islam; Bani Umayyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah, yang berlangsung 1263 tahun lamanya sistem kepemimpinan yang dicontohkan Rasulullah tersebut justru ditinggalkan.
 
Berubahnya sistem kepemimpin dari model daulat rakyat yang dicontohkan Rasulullah dan dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin menjadi model daulat raja yang dipraktekan oleh Dinasti Umayyah, Abbasiyah dan Utsmaniyah, sesungguhnya adalah bentuk kejatuhan dalam godaan kekuasaan. Serupa dengan Nabi Adam yang tergoda Iblis karena bisikan menjadi manusia yang abadi dan kerajaan yang abadi, seperti itu pula dinasti-dinasti islam yang tergoda oleh bisikan keabadian kekuasaan yang membuat mereka mengambil sesuatu yang telah dinasakhkan oleh Nabi Muhammad sendiri. Mereka mengambil kembali sistem kepemimpinan raja-raja Israil yang telah usang dan jelas-jelas sebuah kemunduran peradaban. Sistem kepemimpinan ala dinasti raja-raja Israil ini adalah satu model yang tidak dapat menjamin kesinambungan kualitas kepemimpinan. Aspek daulat dan ridho rakyat yang dipimpinnya pun menjadi hilang.
 
Sistem kepemimpinan yang berbasis daulat rakyat; berbasis kepercayaan dan keridhoan rakyat sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah itu justru sebenarnya dimaksudkan untuk menjamin kebersinambungan kualitas kepemimpinan. Sebab model kepemimpinan absolut dan berbasis garis keturunan ala raja-raja Israil tentu terkandung padanya unsur paksaan dalam kepemimpinan dan tidak dapat menjamin kebersinambungannya kepemimpinan yang berkualitas. Karena itulah perkara bentuk kepemimpinan yang dipakai dalam membangun satu pemerintahan menjadi satu ukuran yang tidak bisa ditawar-tawar dalam mengukur apakah satu pemerintahan berdiri di atas Minhaj Nubuwwah atau tidak. Dan dari itu dapat dengan yakin kita katakan bahwa dinasti-dinasti Islam yang berlangsung 1263 tahun dari era Bani Umayyah sampai dengan Bani Utsmaniyah itu termasuk dalam kekhalifahan yang tidak berdiri di atas Minhaj Nubuwwah.
 
Kedua: tentang sistem persatuan umat. Syariat persatuan yang Rasulullah wujudkan di Negara Madinah dengan Piagam Madinahnya itu adalah satu konsepsi persatuan yang ideal yang memang sejak mula-mula menjadi garis misi para nabi Allah. Sebagaimana telah kita bahas pada kajian yang telah lalu bahwa misi para nabi Allah adalah mewujudkan satu tatanan yang tidak terdapat ruang perpecah-belahan di dalamnya. Itulah Dinul Haq itu. Itulah Dinul Qayyim itu. Itulah Darussalam itu. Problematika perbedaan suku, ras, golongan dan agama yang telah berabad-abad lamanya di sepanjang peradaban manusia menjadi menjadi penghalang terwujudnya persatuan ummat, terjawab oleh satu model persatuan ala Piagam Madinah yang dicontohkan Rasulullah kepada kita. Masyarakat Madinah yang beragam suku, ras, golongan dan agamanya itu dipersatukan dan dipersaudarakan oleh Rasulullah dan disebut di dalam Piadam Madinah dengan sebuatan “Ummat Yang Satu”. Adakah satu bentuk persatuan dan persaudaraan yang lebih tinggi dari pada itu?
 
Memang benar bahwa kemurniaan konsepsi pesatuan ummat ala Piagam Madinah ini, di dalam perjalannya harus terdistorsi oleh beberapa amandemen yang terpaksa harus dilakukan lantaran keterpaksaan zaman. Namun begitu, fundamental dari pada konsepsi persatuan ummat ala Piagam Madinah yang diwujudkan oleh Rasulullah ini haruslah tetap menjadi acuan dan pegangan sebagai sebuah syariat persatuan ummat. Maka menjadi satu perkara yang sangat penting bagi kita untuk memahami perbedaan dalam tiga masa peradaban Islam yang dibawa oleh Rasulullah ini. Masa Rasulullah itu sendiri, masa Khulafaur Rasyidin dan masa Dinasti-dinasti Islam. Dimana nanti akan kita pahami bersama beberapa distorsi yang terjadi pada era-era setelah Nabi Muhammad tersebut. Sehingga kita tahu dengan pasti kemana kita harus merujuk. Dalam perjalanannya, meski Piagam Madinah mengikat seluruh suku, golongan dan agama yang ada dengan mengedepankan rasa keadilan dan mendudukan setiap golongan di atas prinsip kemerdekaan, kesetaraan dan persaudaraan, namun pengkhianatan atas perjanjian damai yang telah disepakati itu kerap terjadi di sepanjang perjalanannya.
 
Beberapa catatan pengkhianatan terhadap Piagam Madinah yang banyak terjadi dari suku-suku Yahudi diantaranya: Pengkhinatan Bani Qainuqa pada tahun ke-2 hijriah; dimana karena kedengkian mereka terhadap Rasulullah membuat mereka menunjukkan permusuhan secara terbuka, mengumbar kebencian, gangungan dan pembunuhan terhadap orang muslim. Kemudian pengkhianatan Bani Nadir pada tahun ke-4 hirjiah; dimana mereka melakukan persekongkolan-persekongkolan jahat untuk memerangi Rasulullah dan orang muslim serta berkonspirasi untuk membunuh Rasullah. Dan yang lebih parah lagi adalah pengkhianatan Bani Quraizhah pada tahun ke-5 hijriah. Dimana mereka melakukan persekutuan jahat dengan Quraisy Mekkah untuk menyerang Madinah. Pengkhianatan tersebut mengakibatkan Madinah kala itu berada di ujung tanduk lantaran serangan 10.000 pasukan persekutuan Quraisy Mekkah itu. Dan jika bukan karena pertolongan Allah, peristiwa yang kita kenal dengan nama Perang Khandaq ini tentu dapat mengakibatkan takluknya Madinah dan terbunuhnya Rasulullah.
 
Pengkhiatan yang kerap terjadi di sepanjang masa Piagam Madinah ini membuat Piagam Madinah mau tidak mau harus mengalami amandemen langsung dari Allah dan Rasulullah. Pada tahun 9 Hijriah turunlah satu maklumat pemutusan hubungan  dengan orang-orang musyrik dan bahkan turunnya perintah untuk memerangi dan membunuh mereka sampai mereka bertaubat dan membayar jizyah sebagaimana dinyatakan dalam surat At-Taubah. Turunnya surat At-Taubah ini secara otomatis membuat Piagam Madinah harus teramandemen. Maka selepas turunya surat At-Taubah itu persatuan ummat yang semula berpijak kepada kemerdekaan, kesetaraan dan persaudaraan itu, harus berubah dengan hadirnya pemberlakuan pengklasifikasian ummat antara Muslim dan Non Muslim (kafir dzimmi dan kafir harbi) dan pemberlakuan jizyah bagi kafir dzimmi.
 
Hal yang sangat penting untuk kita pahami terkait dengan perkara ini adalah bahwa turunya surat At-Taubah bukanlah sebuah maklumat yang menaskhkan konsepsi Piagam Madinah melainkan hadir sebagai jeda untuk menunggu datangnya zaman yang memungkinkan terjadinnya sikronisasi antara keadaan zaman dan konsepsi luhur Piagam Madinah itu sendiri. Sehingga apa-apa yang berjalan pasca maklumat surat At-Taubah ini harus kita lihat bukanlah bentuk murni syariat bernegara atau bentuk murni dari Minhaj Nubuwwah itu. Tanda paling nyata dari pada itu adalah ketiadaan basmallah pada surat At-Taubah ini. Dan berikut ini adalah pernyataan Ali bin Abi Thalib; orang yang ditugaskan langsung oleh Rasulullah untuk membacakan maklumat surat At-Taubah ini kepada orang-orang mukmin dan orang-orang musyrik di Mekkah.
 
Ibnu Abbas pernah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib. "Mengapa Anda tidak menulis 'bismillahirrahmanirrahim' di awal surat At Taubah?" kata Ibnu Abbas. Ali menjawab, "Karena bismillahirrahmanirrahim isinya damai, sementara Surat At Taubah turun dengan membawa syariat perang, di sana tidak ada damai. (HR. Hakim).
 
Singkatnya, surat At-Taubah meski turunnya menjadi sebab perubahan pada syariat bernegara yang ditegakkan Nabi Muhammad di Madinah, namun kehadirannya bukanlah untuk menasakhkan syariat bernegara ala Piagam Madinah itu sendiri melainkan hanya menjadi sebuah jeda. Dimana itu artinya, ketika telah datang waktunya syariat bernegara ala Piagam Madinah itu dapat dilaksanakan secara murni maka itu harus dijalanakan dengan semurni-murninya.
 
Ketiga: tentang sistem persatuan interummat. Apa yang Rasulullah lakukan dengan Piagam Madinah ini sesungguhnya adalah satu bentuk mengimplementasikan kehendak Allah bagi terwujudnya satu beradaban tanpa pertumpahan darah di dalamnya. Model persatuan antar suku, golongan dan agama yang Rasulullah bangun di Madinah ini adalah satu model pula bagi persatuan antar ummat dan bangsa yang berbeda. Artinya Nabi Muhammad hendak mewujudkan satu peradaban sepenuhnya meninggalkan jalan perang yang menumpahkan darah itu. Dan meski peradaban yang demikian itu pada akhirnya belum dapat diwujudkan di masa Rasulullah itu, namun itulah acuan dan rujukan jika kita bermaksud berdiri di atas Minhaj Nubuwwah.
 
Dan jika kita perhatikan jalannya peradaban Islam ini, jeda bagi berlakunya kemurnian peradaban ala Piagam Madinah yang terjadi dengan turunnya surat At-Taubah ini memanglah diperlukan. Karena memang konsepsi syariat bernegara ala Piagam Madinah ini hanya dapat terlaksana dengan semurni-murninya ketika era kemerdekaan kebangsaan telah datang. Era dimana setiap bangsa telah duduk dengan pasti di atas tanah airnya masing-masing. Sementara di masa itu; masa dimana batas-batas wilayah satu penduduk dan bangsa belum jelas dan tegas, persatuan interummat dan bangsa berbasis kemerdekaan, kesetaraan dan persaudaraan ini memang akan sangat sulit untuk diwujudkan. Masa imperiumisme dimana setiap ummat atau bangsa berlomba-lomba memperluas wilayah dan tanah kekuasaannya harus terlebih dulu sampai kepada titik tereliminir oleh zaman dengan sendirinya. Karenanya peradaban Islam pun masih harus berjalan bersama maklumat surat At-Taubah itu mengarungi zaman imperiumisme tersebut sampai masanya tiba.
 
Ketika era kemerdekaan kebangsaan telah datang sebagaimana kita saksikan di zaman kita hari ini, maka sesungguhnya telah datang waktunya bagi umat manusia untuk kembali kepada bentuk semurni-murninya peradaban ala Piagam Madinah itu. Di zaman kita ini; dimana nyaris setiap bangsa telah duduk di atas wilayah dan tanah arinya masing-masing, maka persatuan interummat yang dimaksud oleh Rasulullah itu harus ditegakkan. Maka segala bentuk penjajahan, penaklukan-pendudukan serta jalan perang harus ditinggalkan dan dihapuskan sepenuhnya.
 
Sampai di titik ini, dari apa-apa yang telah dijelaskan di sepanjang kajian kita ini, tentu kita telah dapat melihat ukuran dan prinsip dari apa yang kita sebut dengan Minhaj Nubuwwah itu. Yang dengan itu tentu kita juga dapat mengukur dengan jelas bahwa pada masa Khulafaur Rasyidin yang berlangsung selama 30 tahun itu, meski dapat kita sebut sebagai kekhalifahan yang berpegang kepada Minhaj Nubuwwah, namun padanya terdapat distorsi dalam beberapa hal meski itu diizinkan Allah karena keterpaksaan zaman. Dan masa dinasti-dinasti Islam yang berlangsung selama 1263 tahun itu, sesungguhnya adalah satu bentuk penyelenggaraan sistem bernegara yang telah keluar dari Minhaj Nubuwwah itu sendiri meski kehadirannya telah berjasa dalam membawa ajaran Islam menyebar luas keberbagai belahan bumi ini.

Komentar