BLANTERORIONv101

#11 SULAIMAN DAN KIBLAT PERTAMA

23 Mei 2022

Nabi Sulaiman mewarisi Kerajaan Daud dan menjadi raja ketiga Bani Israil. Di zaman Nabi Sulaiman inilah kerajaan Israil menjadi kerajaan dengan kemegahan tak tertandingi oleh kerajaan lainnya. Nabi Sulaiman memang dikenal dengan kemampuan yang mengagumkan dalam mengorganisir kerajaan. Al-Qur’an menggambarkan dihimpun dalam kerajaannya itu manusia, bangsa jin dan bangsa burung dalam pengorganisiran yang tertib. Bukan hanya itu bahkan syaitan-syaitan pun ditundukan dan bekerja untuk Nabi Sulaiman. Pembangunan, perekonomian dan militer kerajaan Sulaiman tumbuh secara luar biasa. Yang dengan semua itu kita mendapati meski penaklukan dan penduduk masih menjadi bagian dari kerajaan Sulaiman, namun penaklukan pendudukan berjalan dengan lebih lembut di masa Nabi Sulaiman ini. Nabi Sulaiman lebih mengandalkan efek gentar terhadap negeri yang hendak ditaklukkannya ketimbang pertempuran yang membawa pertumpahan darah.

Salah satu kisah penaklukan yang mengagumkan adalah penaklukan negeri Saba yang dipimpin oleh Ratu Balqis sebagaimana diceritakan di dalam Qur'an. Ketimbang memilih mengerahkan pasukan dan menundukan Ratu Balqis dengan senjata, Nabi Sulaiman lebih mengandalkan mempertontokan kemegahan, kemakmuran, kemajuan dan kekuatan yang membuat siapapun tidak melihat peluang untuk melawan dan menolak untuk tunduk berserah diri. Strategi yang seperti inilah yang membuat kerajaan Sulaiman cenderung berlangsung damai tanpa banyak diwarnai pertumpahan darah. Dan karena itu pulalah Bait Allah yang tidak diizinkan Allah dibangun oleh Nabi Daud pada masanya itu, dapat direalisasikan pembangunannya di zaman Nabi Sulaiman ini.

Dikatakan kepadanya (Balqis), “Masuklah ke dalam istana.” Maka ketika dia (Balqis) melihat (lantai istana) itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya (penutup) kedua betisnya. Dia (Sulaiman) berkata, “Sesungguhnya ini hanyalah lantai istana yang dilapisi kaca.” Dia (Balqis) berkata, “Ya Tuhanku, sungguh, aku telah berbuat zalim terhadap diriku. Aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. An-Naml [27]:44)

Masjidil Aqsa atau Baitul Maqdis yang menjadi kiblat pertama umat muslim sendiri sebenarnya tidak merujuk kepada satu bangun masjid tertentu dan bukan juga merujuk kepada Haikal Sulaiman itu sendiri. Baitul Maqdis lebih merupakan sebidang tanah luas yang disucikan untuk menjadi tempat peribadatan. Sama halnya dengan Masjidil Haram yang pada masa awal kita tidak mendapati bangunan masjid di sana karena memang yang dimaksud dengan Masjidil Haram itu adalah hamparan tanah di sekeliling Ka’bah itu sendiri. Tentang siapa yang pertama membangun Masjidil Aqsa ini sampai hari ini tidak dapat dipastikan dengan terang. Namun begitu, di masa Nabi Sulaiman inilah Masjidil Aqsa dibangun dengan megah dan di dirikan Haikal Sulaiman atau Bait Allah padanya. Dan sejak saat itulah ia menjadi kiblat peribadatan dan peradaban.

Bahkan sampai dengan di masa Nabi Muhammad, umat muslim saat itu masih diharuskan menghadapkan wajahnya ke arah Masjidil Aqsa dalam shalat mereka sampai dengan terjadinya pemindahan kiblat ke arah Masjidil Haram di tahun kedua hijriah. Perkara pemindahan kiblat dari Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram ini memanglah sebuah perkara besar dan berat. Karena konsekuensi dari pemindahan kiblat ini bukan hanya sekedar perubahan kemana wajah harus menghadap ketika beribadah, namun juga berarti terjadinya perubahan pola dan bentuk peradaban umat manusia. Dan sebagaimana Allah terangkan di dalam QS Al-Baqarah ayat 144, sebenarnya orang-orang Yahudi dan Nasrani sendiri mengetahui dari kitab mereka bahwa perkara pemindahan kiblat ini adalah perkara yang benar dari Allah.

Artinya memang pola dan bentuk peradaban Kekhalifahan Daud yang berlanjut kepada Nabi Sulaiman, dan terus berlanjut kepada sedikitnya 20 orang raja setelah itu, pada waktunya memang harus dinasakhkan. Harus diganti dengan pola dan bentuk yang lebih baik dari padanya. Jika pada kajian sebelumnya tentang Kekhalifahan Daud kita mendapati dua koreksi, yaitu budaya penaklukan pendudukan yang syarat dengan pertumpahan darah itu harus dinaskhkan; kemudian kedaulatan absolut seorang raja yang rawan dengan keseweang-wenangan juga harus dinasakhkan, pada zaman Nabi Sulaiman dan raja-raja setelahnya kita melihat kelemahan yang berbahaya dalam perkara sistem pergantian kepemimpinan.

Sebagaimana salah satu makna dari pada khalifah adalah “pengganti”, maka memang sistem pergantian kepemimpinan menjadi sebuah perkara yang sangat krusial di dalam sebuah pemerintahan. Dan di dalam sistem Kekhalifahan Daud ini, yang berlanjut kepada generasi-generasi setelahnya menganut sistem dinasti dimana tahta diwariskan turun menurun melalui garis keturunan. Dari Nabi Daud kepada Nabi Sulaiman, dari Nabi Sulaiman kepada Ruhba’am (Rehabeam) dan begitu seterusnya. Kelemahan sistem ini langsung terlihat di masa setelah Nabi Sulaiman. Ketika Rehabaem menjadi raja melanjutkan tahta Nabi Sulaiman, kerajaan Bani Israil ini pun terbelah menjadi dua.

Pecahnya Dinasti Nabi Daud menjadi dua kerajaan disebabkan karena memang Rehabaem tidak memiliki kecakapan dan kebijaksaan untuk mengorganisir kerajaan. Pemerintahannya yang tidak lagi berpihak kepada rakyat itu menyebabkan pemberontakan yang membelah Kerajaan Bani Israil menjadi dua belahan utara dan selatan. Maka tak pelak lagi perjalan Dinasti Nabi Daud paska Nabi Sulaimain ini pun diwarnai dengan perang saudara dan pertumpahan darah di sepanjang perjalanannya. Keadaan ini semakin diperparah dengan penyimpangan Bani Israil dari ajaran para nabinya. Mereka kembali jatuh ke dalam penyembahan tuhan-tuhan lain selain Tuhan semesta alam. Kedua kerajaan pun menjadi lemah dan kehilangan keperkasaan yang sebelumnya itu terlihat nyata di masa Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Kedua kerajaan tersebut pun akhirnya harus hancur dan takluk. Kerajaan Utara dihacurkan oleh Kerajaan Assyiria dan beberapa puluh tahun kemudian Kerajaan Selatan dihancurkan oleh Kerajaan Babilonia. Kembalilah Bani Israil menjadi bangsa terusir dan tertindas.

Dari kisah ini tak ayal lagi dapat kita katakan bahwa salah satu faktor penentu kuat atau lemahnya satu pemerintahan itu sangat ditentukan oleh pemimpinnya. Karena itu sistem pengangkatan dan pergantian kepemimpinan menjadi satu perkara yang amat serius dalam satu pemerintahan. Kegagalan untuk menetapkan pemimpin yang tepat dapat dipastikan akan berujung kepada celaka dan kehancuran. Dan dari kisah ini pula kita mendapati bahwa sistem dinasti dimana pergantian pemimpin hanya didasarkan kepada garis keturunan, benar-benar tidak dapat diandalkan untuk menjamin tapuk kepemimpinan berada di tangan orang dengan kualitas yang tepat.

Oleh karena itulah kita akan melihat bahwa di masa setelah itu, di era Nabi Isa dan Nabi Muhammad apa-apa yang menjadi koreksi dalam sistem pemerintahan dari peradaban sebelumnya ini dinaskhkan secara bertahap. Inilah yang akan menjadi bahasan dalam kejian kita berikutnya.

"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?" (QS. Al-Baqarah [2]:106)

Komentar