Nabi Sulaiman mewarisi Kerajaan Daud
dan menjadi raja ketiga Bani Israil. Di zaman Nabi Sulaiman inilah kerajaan
Israil menjadi kerajaan dengan kemegahan tak tertandingi oleh kerajaan lainnya.
Nabi Sulaiman memang dikenal dengan kemampuan yang mengagumkan dalam
mengorganisir kerajaan. Al-Qur’an menggambarkan dihimpun dalam kerajaannya itu manusia,
bangsa jin dan bangsa burung dalam pengorganisiran yang tertib. Bukan hanya itu
bahkan syaitan-syaitan pun ditundukan dan bekerja untuk Nabi Sulaiman. Pembangunan,
perekonomian dan militer kerajaan Sulaiman tumbuh secara luar biasa. Yang
dengan semua itu kita mendapati meski penaklukan dan penduduk masih menjadi
bagian dari kerajaan Sulaiman, namun penaklukan pendudukan berjalan dengan
lebih lembut di masa Nabi Sulaiman ini. Nabi Sulaiman lebih mengandalkan efek
gentar terhadap negeri yang hendak ditaklukkannya ketimbang pertempuran yang
membawa pertumpahan darah.
Salah satu kisah penaklukan yang mengagumkan adalah penaklukan negeri Saba yang dipimpin oleh Ratu Balqis sebagaimana diceritakan di dalam Qur'an. Ketimbang memilih mengerahkan pasukan dan menundukan Ratu Balqis dengan senjata, Nabi Sulaiman lebih mengandalkan mempertontokan kemegahan, kemakmuran, kemajuan dan kekuatan yang membuat siapapun tidak melihat peluang untuk melawan dan menolak untuk tunduk berserah diri. Strategi yang seperti inilah yang membuat kerajaan Sulaiman cenderung berlangsung damai tanpa banyak diwarnai pertumpahan darah. Dan karena itu pulalah Bait Allah yang tidak diizinkan Allah dibangun oleh Nabi Daud pada masanya itu, dapat direalisasikan pembangunannya di zaman Nabi Sulaiman ini.
“Dikatakan
kepadanya (Balqis), “Masuklah ke dalam istana.” Maka ketika dia (Balqis)
melihat (lantai istana) itu, dikiranya kolam air yang besar, dan
disingkapkannya (penutup) kedua betisnya. Dia (Sulaiman) berkata, “Sesungguhnya
ini hanyalah lantai istana yang dilapisi kaca.” Dia (Balqis) berkata, “Ya
Tuhanku, sungguh, aku telah berbuat zalim terhadap diriku. Aku berserah diri
bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. An-Naml [27]:44)
Masjidil Aqsa atau Baitul Maqdis yang
menjadi kiblat pertama umat muslim sendiri sebenarnya tidak merujuk kepada satu
bangun masjid tertentu dan bukan juga merujuk kepada Haikal Sulaiman itu
sendiri. Baitul Maqdis lebih merupakan sebidang tanah luas yang disucikan untuk
menjadi tempat peribadatan. Sama halnya dengan Masjidil Haram yang pada masa
awal kita tidak mendapati bangunan masjid di sana karena memang yang dimaksud
dengan Masjidil Haram itu adalah hamparan tanah di sekeliling Ka’bah itu
sendiri. Tentang siapa yang pertama membangun Masjidil Aqsa ini sampai hari ini
tidak dapat dipastikan dengan terang. Namun begitu, di masa Nabi Sulaiman
inilah Masjidil Aqsa dibangun dengan megah dan di dirikan Haikal Sulaiman atau
Bait Allah padanya. Dan sejak saat itulah ia menjadi kiblat peribadatan dan peradaban.
Bahkan sampai dengan di masa Nabi
Muhammad, umat muslim saat itu masih diharuskan menghadapkan wajahnya ke arah
Masjidil Aqsa dalam shalat mereka sampai dengan terjadinya pemindahan kiblat ke
arah Masjidil Haram di tahun kedua hijriah. Perkara pemindahan kiblat dari
Masjidil Aqsa ke Masjidil Haram ini memanglah sebuah perkara besar dan berat. Karena
konsekuensi dari pemindahan kiblat ini bukan hanya sekedar perubahan kemana
wajah harus menghadap ketika beribadah, namun juga berarti terjadinya perubahan
pola dan bentuk peradaban umat manusia. Dan sebagaimana Allah terangkan di
dalam QS Al-Baqarah ayat 144, sebenarnya orang-orang Yahudi dan Nasrani sendiri
mengetahui dari kitab mereka bahwa perkara pemindahan kiblat ini adalah perkara
yang benar dari Allah.
Artinya memang pola dan bentuk
peradaban Kekhalifahan Daud yang berlanjut kepada Nabi Sulaiman, dan terus
berlanjut kepada sedikitnya 20 orang raja setelah itu, pada waktunya memang harus
dinasakhkan. Harus diganti dengan pola dan bentuk yang lebih baik dari padanya.
Jika pada kajian sebelumnya tentang Kekhalifahan Daud kita mendapati dua
koreksi, yaitu budaya penaklukan pendudukan yang syarat dengan pertumpahan
darah itu harus dinaskhkan; kemudian kedaulatan absolut seorang raja yang rawan
dengan keseweang-wenangan juga harus dinasakhkan, pada zaman Nabi Sulaiman dan
raja-raja setelahnya kita melihat kelemahan yang berbahaya dalam perkara sistem
pergantian kepemimpinan.
Sebagaimana salah satu makna dari
pada khalifah adalah “pengganti”, maka memang sistem pergantian kepemimpinan
menjadi sebuah perkara yang sangat krusial di dalam sebuah pemerintahan. Dan di
dalam sistem Kekhalifahan Daud ini, yang berlanjut kepada generasi-generasi
setelahnya menganut sistem dinasti dimana tahta diwariskan turun menurun melalui
garis keturunan. Dari Nabi Daud kepada Nabi Sulaiman, dari Nabi Sulaiman kepada
Ruhba’am (Rehabeam) dan begitu seterusnya. Kelemahan sistem ini langsung
terlihat di masa setelah Nabi Sulaiman. Ketika Rehabaem menjadi raja
melanjutkan tahta Nabi Sulaiman, kerajaan Bani Israil ini pun terbelah menjadi
dua.
Pecahnya Dinasti Nabi Daud menjadi
dua kerajaan disebabkan karena memang Rehabaem tidak memiliki kecakapan dan
kebijaksaan untuk mengorganisir kerajaan. Pemerintahannya yang tidak lagi
berpihak kepada rakyat itu menyebabkan pemberontakan yang membelah Kerajaan
Bani Israil menjadi dua belahan utara dan selatan. Maka tak pelak lagi perjalan
Dinasti Nabi Daud paska Nabi Sulaimain ini pun diwarnai dengan perang saudara
dan pertumpahan darah di sepanjang perjalanannya. Keadaan ini semakin
diperparah dengan penyimpangan Bani Israil dari ajaran para nabinya. Mereka
kembali jatuh ke dalam penyembahan tuhan-tuhan lain selain Tuhan semesta alam. Kedua
kerajaan pun menjadi lemah dan kehilangan keperkasaan yang sebelumnya itu
terlihat nyata di masa Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Kedua kerajaan tersebut pun
akhirnya harus hancur dan takluk. Kerajaan Utara dihacurkan oleh Kerajaan
Assyiria dan beberapa puluh tahun kemudian Kerajaan Selatan dihancurkan oleh
Kerajaan Babilonia. Kembalilah Bani Israil menjadi bangsa terusir dan
tertindas.
Dari kisah ini tak ayal lagi dapat
kita katakan bahwa salah satu faktor penentu kuat atau lemahnya satu
pemerintahan itu sangat ditentukan oleh pemimpinnya. Karena itu sistem
pengangkatan dan pergantian kepemimpinan menjadi satu perkara yang amat serius
dalam satu pemerintahan. Kegagalan untuk menetapkan pemimpin yang tepat dapat
dipastikan akan berujung kepada celaka dan kehancuran. Dan dari kisah ini pula
kita mendapati bahwa sistem dinasti dimana pergantian pemimpin hanya didasarkan
kepada garis keturunan, benar-benar tidak dapat diandalkan untuk menjamin tapuk
kepemimpinan berada di tangan orang dengan kualitas yang tepat.
Oleh karena itulah kita akan melihat
bahwa di masa setelah itu, di era Nabi Isa dan Nabi Muhammad apa-apa yang
menjadi koreksi dalam sistem pemerintahan dari peradaban sebelumnya ini dinaskhkan
secara bertahap. Inilah yang akan menjadi bahasan dalam kejian kita berikutnya.
"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia)
lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu?" (QS. Al-Baqarah
[2]:106)
Social Media