BLANTERORIONv101

#9 MUSA DAN BANI ISRAIL

18 Mei 2022

Telah kita bahas sebelumnya tentang perbedaan sikap antara Nabi Yusuf dan Nabi Musa, dimana Nabi Yusuf memilih untuk melebur menjadi bagian yang satu dengan kerajaan Mesir sementara Nabi Musa memilih untuk memerangi kerajaan Fir’aun Mesir; yang mana perbedaan itu dikarenakan sebab yang sangat mendasar, yaitu kerajaan Mesir di zaman Nabi Yusuf dipimpin oleh seorang raja yang berorintasi kepada kesejahteraan rakyat; dimana kerajaan diselenggarakan dengan adil dan bijaksana di atas dasar-dasar perikemanusiaan dan perikeadilan, sementara di zaman Nabi Musa kerajaan Mesir saat itu dipimpin oleh seorang raja yang menindas kepada rakyat; dimana kerajaan diselenggarakan secara zalim di atas dasar perbudakan dan penindasan.

Bahkan kerajaan Fira’un Mesir ini bisa kita katakan adalah satu model dari seburuk-buruknya tatanan hidup manusia yang pernah ada di muka bumi. Karenanya bukan tanpa alasan jika Allah mengabadikan jasad Fir’aun dan Piramida Mesir yang adalah bangunan simbolik dari keberadaan tatanan Fir’aun tersebut. Piramida Mesir ini sendiri sesungguhnya adalah bangunan yang secara simbolik merupakan antithesis dari Baitullah Mekah itu. Pada kedua bangunan tersebut terkandung kodefikasi untuk memahami seperti apa ukuran dari seburuk-buruknya tatanan dan seperti apa ukuran dari sebaik-baiknya tatanan itu.

Disebut sebagai sebagai seburuk-buruknya tatanan yang pernah ada di muka bumi, selain karena pada masanya itulah terjadi pembunuhan masal terhadap bayi laki-laki Bani Israil, padanya juga kita mendapati perbudakan terbesar pertama yang pernah terjadi sepanjang sejarah umat manusia. Dimana setiap titik kemakmuran yang dinikmati oleh kerajaan Fir’aun ini adalah hasil tetasan keringat dan darah dari perbudakan yang zalim kepada Bani Israil. Kerajaan Fir’aun ini juga terkenal anti toleransi atas perbedaan keyakinan pada masyarakatnya. Singkatnya, terlihat nyata tidak ada perikemanusiaan padanya dan tidak ada perikeadilan di dalamnya.

Bentuk piramid pada Piramida Mesir sendiri merupakan simbolika dari suatu tatanan yang mana kedaulatan sepenuhnya berada di tangan seorang raja. Tatanan masyarakat kerajaan Fir’aun Mesir tersebut tersusun atas lapisan-lapisan strata atau kasta dimana Bani Israil berada pada lapisan paling bawah yang keberadaannya hanya untuk menjadi budak bagi kepentingan kerajaan. Tidak ada kemerdekaan dan tidak ada perikeadilan bagi Bani Israil. Dalam tatanan seperti ini memang tegaknya perikemanusiaan dan perikeadilan itu menjadi sebuah kemustahilan. Karenanya tidak mengherankan jika satu-satunya pilihan yang ada bagi Nabi Musa adalah membebaskan Bani Israil dari perbudakan kerajaan zalim itu meskipun itu berarti harus berkonfrontasi dengan Fir’aun.

Dan Musa berkata, “Wahai Fir‘aun! Sungguh, aku adalah seorang utusan dari Tuhan seluruh alam, aku wajib mengatakan yang sebenarnya tentang Allah. Sungguh, aku datang kepadamu dengan membawa bukti yang nyata dari Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil (pergi) bersamaku.” (QS. Al-Araf [7]:104-105

Meski perjuangan Nabi Musa bersama Nabi Harun saudaranya untuk membebaskan Bani Israil ini berlangsung panjang dan dramatis, namun pada akhirnya Bani Israil berhasil dikeluarkan dari tanah Fir’aun menuju tanah perjanjian. Pembebasan Bani Israil ini juga diwarnai dengan tenggelamnya Fir’aun bersama pasukannya di Laut Merah. Tumbangnya kezaliman Fir’aun ini menambah rentetan pembuktian betapa kedurhakaan kepada Tuhan semesta alam hanya akan berujung kepada kehancuran dan kebinasaan. Kaum Nuh, kaum Aad, kaum Tsamud, Penduduk Madyan dan kaum Luth pun telah dihancurkan akibat kedurhakaannya kepada fitrah penciptaan semesta alam yang mengharuskan setiap peradaban berdiri di atas hukum kasih sayang-Nya.

Namun sayangnya setelah Nabi Musa berhasil mengeluarkan Bani Israil dari perbudakan tanah Mesir dan setelah berbagai mukjizat mereka saksikan, Bani Israil masih saja mendurhakai Nabi Musa. Kedurhakaan mereka terhadapa nabinya itu, membuat Bani Israil diharamkan atas mereka tanah perjanjian dan mereka harus terkurung 40 tahun lamanya di Padang Tiih atau Gurun Pasir Sinai. Mentalitas Bani Israil yang lemah akibat ratusan tahun hidup sebagai budak membuat mereka sama sekali tidak bernyali memasuki negeri orang Filistin. Ketakutan mereka terhadap berita keperkasaan orang-orang Filistin membut mereka memilih mendurhakai Nabi Musa secara nyata. Keterangan tentang ini dapat kita lihat pada QS. Al-Maidah [5]:24-26 berikut:

Mereka berkata: “Hai Musa, kami sekali sekali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada didalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti disini saja”. Berkata Musa: “Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu”. Allah berfirman: “(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu”.

Setelah 40 tahun berlalu dimana generasi tua yang berkarat dalam kefasikan berganti dengan generasi muda, di masa kepemimpinan Yusya bin Nun barulah Bani Israil bernyali untuk melakukan invansi ke tanah Kanaan negeri orang Filistin itu. Mereka berhasil menguasai negeri itu di bawah kepemimpinan Yusya bin Nun. Namun selepas wafatnya Yusya bin Nun Bani Israil kembali tenggelam dalam kefasikan dan meninggalkan ajaran Musa. Keadaan mereka yang lemah ini membuat mereka dikalahkan kembali oleh bangsa Filistin suku Amaliqah atau Amalek. Mereka terusir dan tertindas selama beberapa generasi dan hidup dengan kewajiban membayar upeti. Sekian lama hidup sebagai bangsa yang tertindas membuat mereka akhirnya meminta kepada Nabi Syamwil atau Samuel diangkat untuk mereka seorang raja agar mereka berperang di bawah kepemimpinannya, sebagaimana diterangkan pada ayat berikut:

“Tidakkah kamu perhatikan para pemuka Bani Israil setelah Musa wafat, ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka, "Angkatlah seorang raja untuk kami, niscaya kami berperang di jalan Allah." Nabi mereka menjawab, "Jangan-jangan jika diwajibkan atasmu berperang, kamu tidak akan berperang juga?" Mereka menjawab, "Mengapa kami tidak akan berperang di jalan Allah, sedangkan kami telah diusir dari kampung halaman kami dan (dipisahkan dari) anak-anak kami?" Tetapi ketika perang itu diwajibkan atas mereka, mereka berpaling, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Baqarah [2]:246)    

Singkat cerita diangkatlah kemudian Thalut atau Saul oleh Nabi Syamwil menjadi raja atas mereka. Diangkatnya Thalut ini menjadi penanda awal dimulainya tradisi kerajaan di kalangan Israil. Meski diwarnai dengan penolakan namun pada akhirnya mereka menerima Thalut sebagai raja atas mereka dan memimpin mereka melawan suku Amaliqah. Dan sebagaimana kisah yang sudah sering kita dengar, dalam peperangan itulah Nabi Daud yang kala itu menjadi salah satu prajurit Thalut berhasil mengalahkan Jalut atau Goliat. Jalut prajurit terkuat, berbadan raksasa dengan kehebatannya yang melegenda itu diterbunuh oleh Nabi Daud hanya dengan ketapel dan 3 buah kerikil. Takluk kemudian bangsa Amalek itu dan kekuasaan atas tanah Filistin pun kembali kepada Bani Israil.

Selepas wafatnya Thalut, Nabi Daud kemudian dinobatkan sebagai raja. Diangkatnya Nabi Daud menjadi raja sebenarnya hanya meneruskan tradisi kerajaan yang telah dimulai oleh Bani Israil itu. Yang dengan itu menjadikan Nabi Daud sebagai nabi pertama yang menjadi raja. Sebelum itu tidak ada seorang nabi pun yang pernah menjadi seorang raja. Di tanah Filistin atau Palestina itulah Nabi Daud membangun imperium kerajaannya dan membawa Bani Israil ke masa keemasannya. Meski bisa kita katakan bahwa Kerajaan Daud ini adalah kerjaaan terbaik yang pernah ada di sepanjang zaman kenabian, namun ada beberapa koreksi atas Kerajaan Daud yang Allah tinggalkan untuk menjadi pelajaran bagi generasi yang akan datang. Inilah yang akan menjadi kajian kita berikutnya.

Komentar