Inti ajaran dari
pada agama Ibrahim adalah perserahan diri. Dan agama Ibrahim inilah sentral
rujukan dari ajaran yang dibawa oleh para Nabi Allah. Di dalam Qur’an sendiri
kita mendapati banyak sekali seruan Allah kepada kita untuk mengikuti agama
Ibrahim yang lurus itu. Dan agama Islam yang kita kenal hari ini pun
sesungguhnya adalah implementasi dari agama Ibrahim itu. Untuk memahami lebih
jauh tentang agama Ibrahim ini mari kita lihat wasiat Nabi Ibrahim pada ayat
berikut:
Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam". Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". (QS. Al-Baqarah [2]:131-132)
Tunduk patuh
kepada Tuhan semesta alam, itulah inti ajaran agama Ibrahim yang diwasiatkan
dari zaman ke zaman. Tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam ini pula yang
menjadi ukuran keislaman kita. Maka kehilangan ketunduk-patuhan itu adalah sama
dengan kehilangan keislaman itu sendiri. Perkara ini perkara yang sangat
penting untuk kita perhatikan, agar kita tidak menganggap enteng status
kemusliman itu.
Karenanya ketika
kita bicara menegakkan dinul Islam, ini artinya kita bicara tentang meneggakkan
satu tatanan hidup yang sepenuhnya tunduk patuh kepada ketentuan-ketentuan
Allah atas semesta alam ini. Satu tatanan hidup yang selaras sejalan dengan
hukum semesta alam. Artinya, bicara Tuhan tidak bisa lepas dari bicara semesta
alam. Sebab pada semesta alam inilah Allah letakan kehendak dan hukum-Nya itu.
Telah kita pahami sebelumnya bahwa
semesta alam ini adalah satu kesatuan sistem yang tersusun atas milyaran
entitas yang terintegrasi dalam kesaling-bergantungan yang absolut. Dimana
keberadaan setiap entitas adalah penopang bagi entitas yang lain. Semesta alam
hidup dalam hukum saling menghidupkan. Karena itulah miliyaran perbedaan yang kita
dapati pada semesta alam ini sama sekali tidak menjadi masalah tapi justru
menjadi berkah. Segala perbedaan yang ada itulah justru yang membuat kehidupan
ini dapat berlangsung.
Fitrah semesta alam yang demikian itu
sungguh tidak bisa kita tolak dan kita lawan. Karenanya tidak ada pilihan
selain menjadi muslim. Dan karenanya ada difirmankan “tidak ada din di sisi
Allah selain dari Islam”. Karena kenyataannya memang kita tidak mendapati
adanya pilihan lain selain dari tunduk patuh kepada hukum yang Allah tetapkan
atas alam semesta ini.
Namun tentang perkara ini ada hal sangat
penting untuk kita pahami. Bahwa menjadi muslim itu atau menjadi pengikut agama
Ibrahim itu bukan perkara klaim-klaim atau lebel-lebel semata. Jadi jika dulu
orang-orang Yahudi mengklaim merekalah penganut agama Ibrahim demikian juga
orang-orang Nasrani mengklaim bahwa merekalah pengikut agama Ibrahim itu, jangan
kita kemudian mengulang hal yang sama dengan klaim-klaim semacam itu. Benar
bahwa agama Yahudi, Nasrani demikian juga Islam yang kita kenal hari ini
semuanya bersumber dari agama Ibrahim itu, namun sekali lagi ini bukan perkara
klaim tapi perkara seberapa lurus praktek agama Ibrahim itu kita jalankan.
Perhatikan ayat berikut ini:
Dan mereka berkata: "Hendaklah kamu menjadi
penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk".
Katakanlah: "Tidak, melainkan agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia
(Ibrahim) dari golongan orang musyrik". (QS.
Al-Baqarah [2]:135)
Jadi perkara menjadi pengikut agama
Ibrahim itu adalah perkara menjelmakan “tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”
ke dalam tatanan kehidupan kita. Tentang bagaimana mengintegrasikan umat
manusia ini ke dalam sistem yang saling menghidupkan satu sama lain sekalipun
kita berbeda-beda adanya. Sebab seperti itulah hukum Penciptaan di kantor semesta alam ini
dan seperti itu pulalah harusnya manusia.
Sebagaimana telah kita bahas
sebelumnya dalam QS. 30:30-32, bahwa perkara agama ini sebenarnya adalah
perkara menselaraskan diri dengan fitrah penciptaan. Bahwa konsep agama yang
lurus atau dinul qayyim itu tidak pernah berubah sejak dulu sebagaimana tidak
berubahnya fitrah Allah itu. Maka jangan sampai kita termasuk orang-orang
melawan fitrah penciptaan itu dengan mengambil jalan perpecah-belahan manusia
padahal itulah senyata-nyatanya kemusyirikan itu. Dan Ibrahim itu bukanlah dari
golongan orang-orang yang musyirik.
Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya Tuhanku
telah memberiku petunjuk ke jalan yang lurus (shiratal mustaqim), agama
yang benar (dinul
qayyim), agama Ibrahim yang lurus. Dia
(Ibrahim) tidak termasuk orang-orang musyrik.”
(QS. 6:161)
Inilah shiratal mustaqim itu. Maka
kepada jalan yang mana lagi selain itu kita harus berpijak. Haruskah kita
menentang kodrat penciptaan kita untuk bersatu dan mengharmonisasikan segala
perbedaan yang kita punya untuk saling menghidupkan satu sama lain? Bukankah
semesta alam terpampang nyata dihadapkan kita mempertontonkan bagaimana hukum
kasih sayang Allah yang membuat milyaran perbedaan itu menjadi rahmat bagi
semua yang hidup di dalamnya? Bukankah segala perbedaan yang ada pada kita
memang disengaja adanya dan bagian dari fitrah penciptaan-Nya? Dan bukankah
segala perbedaan itu dimaksudkan agar kita saling melengkapi satu sama lain
agar dengan itu kita dapat menunjukan takwa?
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat [49]:13)
Social Media