BLANTERORIONv101

#6 AGAMA IBRAHIM YANG LURUS

11 Mei 2022

Inti ajaran dari pada agama Ibrahim adalah perserahan diri. Dan agama Ibrahim inilah sentral rujukan dari ajaran yang dibawa oleh para Nabi Allah. Di dalam Qur’an sendiri kita mendapati banyak sekali seruan Allah kepada kita untuk mengikuti agama Ibrahim yang lurus itu. Dan agama Islam yang kita kenal hari ini pun sesungguhnya adalah implementasi dari agama Ibrahim itu. Untuk memahami lebih jauh tentang agama Ibrahim ini mari kita lihat wasiat Nabi Ibrahim pada ayat berikut:

Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam". Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". (QS. Al-Baqarah [2]:131-132)

Tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam, itulah inti ajaran agama Ibrahim yang diwasiatkan dari zaman ke zaman. Tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam ini pula yang menjadi ukuran keislaman kita. Maka kehilangan ketunduk-patuhan itu adalah sama dengan kehilangan keislaman itu sendiri. Perkara ini perkara yang sangat penting untuk kita perhatikan, agar kita tidak menganggap enteng status kemusliman itu.

Karenanya ketika kita bicara menegakkan dinul Islam, ini artinya kita bicara tentang meneggakkan satu tatanan hidup yang sepenuhnya tunduk patuh kepada ketentuan-ketentuan Allah atas semesta alam ini. Satu tatanan hidup yang selaras sejalan dengan hukum semesta alam. Artinya, bicara Tuhan tidak bisa lepas dari bicara semesta alam. Sebab pada semesta alam inilah Allah letakan kehendak dan hukum-Nya itu.

Telah kita pahami sebelumnya bahwa semesta alam ini adalah satu kesatuan sistem yang tersusun atas milyaran entitas yang terintegrasi dalam kesaling-bergantungan yang absolut. Dimana keberadaan setiap entitas adalah penopang bagi entitas yang lain. Semesta alam hidup dalam hukum saling menghidupkan. Karena itulah miliyaran perbedaan yang kita dapati pada semesta alam ini sama sekali tidak menjadi masalah tapi justru menjadi berkah. Segala perbedaan yang ada itulah justru yang membuat kehidupan ini dapat berlangsung.

Fitrah semesta alam yang demikian itu sungguh tidak bisa kita tolak dan kita lawan. Karenanya tidak ada pilihan selain menjadi muslim. Dan karenanya ada difirmankan “tidak ada din di sisi Allah selain dari Islam”. Karena kenyataannya memang kita tidak mendapati adanya pilihan lain selain dari tunduk patuh kepada hukum yang Allah tetapkan atas alam semesta ini.

Namun tentang perkara ini ada hal sangat penting untuk kita pahami. Bahwa menjadi muslim itu atau menjadi pengikut agama Ibrahim itu bukan perkara klaim-klaim atau lebel-lebel semata. Jadi jika dulu orang-orang Yahudi mengklaim merekalah penganut agama Ibrahim demikian juga orang-orang Nasrani mengklaim bahwa merekalah pengikut agama Ibrahim itu, jangan kita kemudian mengulang hal yang sama dengan klaim-klaim semacam itu. Benar bahwa agama Yahudi, Nasrani demikian juga Islam yang kita kenal hari ini semuanya bersumber dari agama Ibrahim itu, namun sekali lagi ini bukan perkara klaim tapi perkara seberapa lurus praktek agama Ibrahim itu kita jalankan. Perhatikan ayat berikut ini:

Dan mereka berkata: "Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk". Katakanlah: "Tidak, melainkan agama Ibrahim yang lurus. Dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik".  (QS. Al-Baqarah [2]:135)

Jadi perkara menjadi pengikut agama Ibrahim itu adalah perkara menjelmakan “tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam” ke dalam tatanan kehidupan kita. Tentang bagaimana mengintegrasikan umat manusia ini ke dalam sistem yang saling menghidupkan satu sama lain sekalipun kita berbeda-beda adanya. Sebab seperti itulah hukum Penciptaan di kantor semesta alam ini dan seperti itu pulalah harusnya manusia.

Sebagaimana telah kita bahas sebelumnya dalam QS. 30:30-32, bahwa perkara agama ini sebenarnya adalah perkara menselaraskan diri dengan fitrah penciptaan. Bahwa konsep agama yang lurus atau dinul qayyim itu tidak pernah berubah sejak dulu sebagaimana tidak berubahnya fitrah Allah itu. Maka jangan sampai kita termasuk orang-orang melawan fitrah penciptaan itu dengan mengambil jalan perpecah-belahan manusia padahal itulah senyata-nyatanya kemusyirikan itu. Dan Ibrahim itu bukanlah dari golongan orang-orang yang musyirik.

Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya Tuhanku telah memberiku petunjuk ke jalan yang lurus (shiratal mustaqim), agama yang benar (dinul qayyim), agama Ibrahim yang lurus. Dia (Ibrahim) tidak termasuk orang-orang musyrik.” (QS. 6:161)

Inilah shiratal mustaqim itu. Maka kepada jalan yang mana lagi selain itu kita harus berpijak. Haruskah kita menentang kodrat penciptaan kita untuk bersatu dan mengharmonisasikan segala perbedaan yang kita punya untuk saling menghidupkan satu sama lain? Bukankah semesta alam terpampang nyata dihadapkan kita mempertontonkan bagaimana hukum kasih sayang Allah yang membuat milyaran perbedaan itu menjadi rahmat bagi semua yang hidup di dalamnya? Bukankah segala perbedaan yang ada pada kita memang disengaja adanya dan bagian dari fitrah penciptaan-Nya? Dan bukankah segala perbedaan itu dimaksudkan agar kita saling melengkapi satu sama lain agar dengan itu kita dapat menunjukan takwa?

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat [49]:13)

Komentar