BLANTERORIONv101

#8 KENAPA YUSUF TIDAK SEPERTI MUSA

17 Mei 2022

Yusuf bin Yakub yang adalah cucu dari Nabi Ishaq ini dapat kita katakan adalah nabi pertama yang terlibat langsung dalam satu pemerintahan. Latar belakang kisah Nabi Yusuf sendiri sebenarnya punya kemiripan dengan kisah Nabi Musa. Meski berada di zaman yang berbeda, namun mereka adalah dua orang nabi yang sama-sama berada di dalam lingkungan kerajaan Mesir. Kedua kerajaan tersebut; baik di masa Nabi Yusuf maupun di masa Nabi Musa, keduanya pun sama-sama bukan kerajaan yang berdasar kepada agama tauhidnya Ibrahim. Namun begitu Nabi Yusuf justru memilih untuk melebur menjadi bagian yang satu dengan kerajaan Mesir itu sementara Nabi Musa memilih untuk memerangi kerajan Fir’aun tersebut.

Dan jika kita cermati, perbedaan sikap antara Nabi Yusuf dan Nabi Musa ini disebabkan alasan yang sangat mendasar. Di zaman Nabi Yusuf kerajaan Mesir saat itu dipimpin oleh seorang raja yang berorintasi kepada kesejahteraan rakyat; dimana kerajaan diselenggarakan dengan adil dan bijaksana di atas dasar-dasar perikemanusiaan dan perikeadilan, sementara di zaman Nabi Musa kerajaan Mesir saat itu dipimpin oleh seorang raja yang menindas kepada rakyat; dimana kerajaan diselenggarakan secara zalim di atas dasar perbudakan dan penindasan.

Sejak awal berada dalam lingkaran kerajaan Mesir, Nabi Yusuf sendiri kita dapati tidak sekali pun menunjukkan pembangkaan terhadap kerajaan. Bahkan ketika dirinya harus dipenjara meski ia tidak bersalah, ia menerima itu tanpa sedikitpun perlawanan karena ia tahu bahwa setiap perkara dalam kerajaan akan diputuskan dengan adil. Nah, dari kisah dipenjarakannya Nabi Yusuf bersama dua orang pemuda yang satu dari padanya adalah pemuka kerajaan itulah kita mendapatkan konfirmasi bahwa kerajaan Mesir saat itu memang bukanlah kerajaan yang berdasar kepada agama tauhidnya Nabi Ibrahim.

“Dan aku pengikut agama bapak-bapakku. Yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi Kami mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. Yang demikian itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia; tetapi kebanyakan manusia tidak mensyukuri. Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 38-40).

Jadi, meski Nabi Yusuf tahu bahwa kerajaan dimana ia hidup di dalamnya itu bukanlah kerajaan yang bertauhid sebagaimana agama Ibrahim mengajarkan, namun keadaan kerajaan yang terselenggara secara adil dan beradab itu membuat Nabi Yusuf siap menghormati sistem dan hukum yang berlangsung di dalam kerajaan. Dari ayat-ayat yang lain – diantarnya QS.12:50-51 – kita mendapati bahwa kerajaan Mesir di era Nabi Yusuf ini meski bukan kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang berada di garis agama Ibrahim, namun toleransi terhadap keyakinan di kalangan rakyatnya terlihat jelas. Kita mendapati sebagian dari rakyatnya yang percaya kepada Allah dapat dengan leluasa hidup menurut kepercayaan mereka itu.

Dan sebagaimana kita ketahui bersama ketika karena keberhasilannya menfasirkan mimpi sang raja; dimana tafsir mimpi tersebut melahirkan satu skema yang cermerlang untuk menyelamat kerajaan Mesir dari bencana paceklik yang akan dihadapinya itu, Nabi Yusuf pun kemudian diangkat menjadi pemegang perbendaharaan kerajaan. Mengabdi kepada seorang raja yang adil dan bijaksana meski tidak seiman sebagaimana ditunjukkan oleh Nabi Yusuf ini menunjukan bahwa perikemanusiaan dan perikeadilan itu menjadi satu faktor utama yang harus dikedepankan dalam satu tatanan. Ketauladanan Nabi Yusuf dan ajaran agama Ibrahim yang dibawanya itu pun menjadi perkara yang dengan sendirinya berkembang di kerajaan Mesir itu. Dan bahkan keluarga besar Nabi Yakub dibawa oleh Nabi Yusuf menjadi bagian dari keluarga besar kerajaan yang dihormati di kerjaan Mesir itu.

Jadi dari kisah Nabi Yusuf ini kita belajar untuk mengedepankan esensi dari pada agama itu sendiri ketimbang mementingkan pekara lebel-lebel. Pelajaran yang kita tarik dari pada kisah Nabi Yusuf ini memang belumlah membawa kita pada kesimpulan akhir tentang bentuk paripurna dari tatanan yang Allah kehendaki itu. Sementara kita simpan dulu ini sebagai bagian dari perbendaharaan hikmah dan kebijaksaan sampai dengan kita menyelesaikan kajian utuh kita tentag perjalanan panjang peradaban para nabi Allah itu.

Penting memang bagi kita untuk tidak tergesa-gesa menarik kesimpulan sampai gambaran utuh dan lengkapnya telah kita satukan. Maka baik kiranya kita mengingat kembali dimana tujuan Allah meninggalkan kisah-kisah para utusannya kepada kita itu adalah agar kita dapat menarik satu kesimpulan dengan teguh hati sebagaimana diterangkannya dalam ayat berikut:

“Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu, agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu kebenaran, pelajaran dan peringatan bagi orang yang beriman.” (QS. Hud [11]:120)

Komentar