Beberapa bulan
sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah; dimana di Madinah itulah tatanan
peradaban Islam akan dimulai, Allah perjalankan Nabi Muhammad sebelum itu untuk
melakukan Isra dan Mi’raj. Peristiwa Isra Mi’raj itu sendiri sesungguhnya
adalah sebuah perjalanan pembekalan sekaligus sebuah konfirmasi. Konformasi
tentang syariat peradaban yang diemban Rasulullah dalam misi kenabiannya itu.
Di dalam perjalanan itulah Nabi Muhammad ditunjukkan dua model peradaban yang
ada di dalam garis kenabian. Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa. Masjidil Haram
dengan Ka’bahnya itu; yang sejak mula-mula menjadi simbol tatanan peradaban
damai yang diperjuangkan para nabi, atau Masjidil Aqsa dengan Haikal Sulaiman
yang telah runtuh itu; yang menjadi simbol tatanan peradaban Dinasti Daud yang
pernah mencapai puncak kejayaannya namun telah runtuh berkeping-keping.
Sebagaimana telah
kita bahas sebelumnya, syariat kedinastian Nabi Daud ini sendiri sebenarnya
memang telah dinasakhkan oleh Nabi Isa saat kedatangannya. Namun begitu,
melalui perjalanan Isra Mi’raj inilah Nabi Muhammad mendapat konfirmasi
ketidak-terikatannya kepada syariat Kedinastian Daud itu. Perintah shalat yang
baru; berbeda dengan nabi-nabi sebelumnya, yang Nabi Muhammad dapatkan dalam
peristiwa mi’raj ke sidratul muntaha, adalah sebuah konfirmasi bahwa Rasulullah
diutus untuk membangun syariat yang baru. Mewujudkan sebuah peradaban baru yang
tidak terikat dengan peradaban panjang kedinastian yang telah dibangun oleh
Nabi Daud sebelumnya. Meski perintah untuk berkiblat ke arah Masjidil Haram
belum Allah turunkan dalam peristiwa Isra Mi’raj ini, namun
ketidak-terikatannya dengan peradaban Masjidil Aqsa menjadi sebuah konfirmasi
yang cukup untuk Nabi Muhammad untuk menentukan arah peradaban yang akan
dibangunnya itu.
Karena itulah
setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, dimana di Madinah itu Nabi Muhammad
mendapat ruang untuk mendirikan peradabannya, tidaklah ia membangun peradaban
Madinah itu sebagaimana Nabi Daud membangun peradabannya. Nabi Muhammad tidak
meletakan dasar-dasar peradaban raja-raja dengan sistem kedinastiannya itu di
Negara Madinah. Nabi Muhammad justru meletakan dasar-dasar kerakyatan dan
menegakkan prinsip kemerdekaan, kesetaraan dan persaudaraan. Dan tidak
mengherankan karenanya jika kita mendapati dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan Abdurrahman bin Abu Uqail Ats-Tsaqafi, dimana diceritakan ketika
seseorang bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak
meminta kerajaan sebagaimana Nabi Sulaiman?”. Mendengar itu Rasulullah tertawa
dan kemudian beliau bersabda: “Semoga menjadi teman kalian merupakan hal yang
lebih utama di sisi Allah dibandingkan memperoleh kerajaan Sulaiman”.
Artinya memang
konsepsi kerajaan dan kedinastian yang berlangsung sekitar 300 tahun lamanya
sejak masa Nabi Daud dan Nabi Sulaiman itu telah sepenuhnya dinasakhkan. Jika Nabi
Isa pernah menolak disebut sebagai Anak Daud, Nabi Muhammad pun ketika Allah
melalui malaikatnya menawarkan dua pilihan untuk menjadi Raja sekaligus Nabi
atau menjadi seorang Hamba sekaligus Rasul, Nabi Muhammad memilih untuk menjadi
seorang Hamba dan Rasul. Hal ini diceritakan dalam sebuah hadits riwayat Abu
Hurairah berikut:
“Malaikat Jibril
duduk di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau
menengadahkan mukanya ke langit. Tiba-tiba ada seorang malaikat yang turun.
Malaikat Jibril berkata,’Malaikat ini belum pernah turun sejak diciptakan
kecuali saat ini. Ketika malaikat tersebut turun, beliau berkata,’Wahai
Muhammad! Aku diutus kepadamu oleh Rabb-mu. Apakah Engkau ingin dijadikan
sebagai seorang Raja sekaligus Nabi atau seorang hamba sekaligus Rasul?’
Malaikat Jibril berkata,’Merendahlah kepada Rabb-mu, wahai Muhammad!’ Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,’Sebagai seorang hamba dan Rasul.’”
Dan jika kita
melihat Piagam Madinah yang adalah Undang-undang Dasar Negara Madinah ini, kita
melihat bahwa memang Negara Madinah yang dibangun oleh Rasulullah itu telah
sepenuhnya meninggalkan konsepsi raja-raja dari tanah peradaban Nabi Sulaiman.
Nabi Muhammad tidak mengangkat dirinya sebagai raja di Madinah dan bahkan
Piagam Madinah itu tidak dibuat sendiri oleh Nabi Muhammad melainkan disusun
dengan melibatkan para pemuka suku di Madinah. Konsep persatuan di dalam Piagam
Madinah pun berbeda; dimana setiap suku dan penganut agama diberikan
kemerdekaan untuk menjalankan tradisi kesukuan dan keagamaannya masing-masing
tanpa harus diseragamkan. Dan bahkan mereka yang beragam suku dan agamanya di
Madinah itu dipersaudarakan oleh Rasulullah dalam satu ikatan yang menjamin
keadilan yang setara bagi setiap orang. Mereka yang berbeda-beda suku dan
agamanya itu dipersaudarakan dan disebut sebagai Ummat Yang Satu.
Negara Madinah
dengan Piagam Madinahnya ini adalah syariat bernegara yang dicontohkan langsung
oleh Rasulullah kepada kita umatnya. Dan inilah pokok intisari dari pada Minhaj
Nubuwah itu. Artinya prinsip-prinsip Piagam Madinah inilah yang semestinya
menjadi patokan dan ukuran bagi umat muslim dalam penyelenggaran sistem
pemerintahannya. Lebih lanjutnya tentang Piagam Madinah sebagai pokok intisari
dari pada Minhaj Nubuwah akan kita bahas dalam kajian berikutnya. Hal yang
perlu kita pahami dulu adalah perkara pemindahan kiblat itu sendiri. Dimana
meski Nabi Muhammad telah menyakini dan telah meletakan dasar-dasar peradaban
Baitullah itu sebagai dasar-dasar Negara Madinah, namun belum turunnya perintah
Allah untuk berpindah arah kiblat ke Masjidil Haram setelah lebih dari satu
tahun lamanya Nabi Muhammad di Madinah, hal ini menjadi perkara yang
menggelisahkan hati Rasulullah.
17 bulan lamanya
setelah hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad bersama orang-orang mukmin masih harus
menghadapkan wajah ke arah Masjidil Aqsa sebagai kiblat di setiap shalat
mereka. Memang pemindahan kiblat itu sendiri adalah sebuah perkara besar
terlebih-lebih bagi orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena pemindahan kiblat
ini tentu akan menjadi sebuah deklarasi terbuka sekaligus konfirmasi yang nyata
tentang dinasakhkannya peradaban tanah Masjidil Aqsa dan dimulainya peradaban
tanah Masjidil Haram. Dinasakhkannya syariat bernegara model Dinasti Daud dan
Sulaiman serta dimulainya syariat bernegara model Baitullah yang memang telah
ditetapkan sejak mula-mula untuk menjadi puncak peradaban dalam estafeta
kenabian.
"Sungguh Kami (sering)
melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke
kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana
saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui,
bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan." (QS.
Al-Baqarah [2]:144)
Dan setelah 17
bulan lamanya sejak hijrah ke Madinah Nabi Muhammad menanti turunnya perintah
pemindahan kiblat, akhirnya Allah turunkan perintah itu sebagaimana diterangkan
pada ayat di atas. Ini tentu menjadi berita gembira bagi orang-orang yang
beriman, namun bagi orang-orang Yahudi terkhususnya peristiwa ini menjadi
peristiwa yang menggoncang keimanan mereka. Sebab bagaimana tidak, pemindahkan
kiblat ini tentu menjadi sebuah konfirmasi terbuka dan nyata berakhirnya
peradaban Kerajaan Daud yang mereka nanti-nanti kebangkitannya itu. Berakhirnya
garis amanat penjaga peradaban bagi Bani Israil yang telah berlangsung lebih
dari 2000 tahun lamanya itu. Maka sebagaian mereka yang mengenali perkara ini
dari kibat mereka, mereka beriman kepadanya dan sebagaian yang lain karena
egoisme golongan yang melekat padanya menolak perkara pemindahan kiblat ini.
“Dan walaupun
engkau (Muhammad) memberikan semua ayat kepada orang-orang yang diberi Kitab
itu, mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan engkau pun tidak akan mengikuti
kiblat mereka. Sebagian mereka tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain.
Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah sampai ilmu kepadamu,
niscaya engkau termasuk orang-orang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]:145)
Maka melalui
peristiwa pemindahan kiblat ini menjadi nyata siapa yang mengikuti Rasul dan
siapa yang membelot. Mereka yang membelot inilah yang dikemudian waktu membuat
Piagam Madinah harus terganggu kemurniannya. Penghianatan demi penghianatan
yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi ini membuat Piagam Madinah harus
terekduksi oleh beberapa amandemen yang terpaksa harus dilakukan. Dan puncak
amandemen terjadi ketika harus turunnya satu maklumat yang dibawa oleh Surat
At-Taubah yang berisi pemutusan hubungan kepada orang-orang musyirikin itu.
Mereka yang semula dipersaudarakan dalam ikatan perjanjian akhirnya harus
disatukan secara paksa dengan menggunakan pedang. Dari itu maka berlakulah
jizyah dan pembagian golongan dimana orang-orang non-muslim ditempatkan sebagai
masyarakat kelas dua yang semula kita tidak dapati itu di dalam Konstitusi Madinah
itu.
Social Media