BLANTERORIONv101

#10 KOREKSI ALLAH ATAS KEKHALIFAHAN DAUD

20 Mei 2022
Jika Nabi Yusuf adalah nabi pertama yang terlibat langsung dalam satu pemerintahan, Nabi Daud ini adalah nabi pertama yang menjadi raja. Nabi Daud sendiri sebenarnya bukanlah raja pertama bagi Bani Israil, Nabi Daud hanya meneruskan tradisi kerajaan yang sudah ada sebelum itu menggantikan Thalut raja sebelumnya. Di zaman Thalut itulah tradisi kerajaan dalam garis peradaban para nabi diawali. Sekitar 400 tahun sebelum itu sejak ditinggalkan Nabi Musa, Bani Israil pun hanya mengenal garis perintah hakim-hakim. Belum mengadopsi sistem kerajaan menjadi sistem pemerintahan meraka. Dan dari apa yang diterangkan dalam QS. 2 ayat 246 di bawah ini kita mendapati dimulainya era kerajaan tersebut juga sekaligus termasuk di mulainya budaya perang atau budaya penaklukan pendudukan sebagai bagian dari sistem pemerintahan itu sendiri.

“Tidakkah kamu perhatikan para pemuka Bani Israil setelah Musa wafat, ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka, "Angkatlah seorang raja untuk kami, niscaya kami berperang di jalan Allah." Nabi mereka menjawab, "Jangan-jangan jika diwajibkan atasmu berperang, kamu tidak akan berperang juga?" Mereka menjawab, "Mengapa kami tidak akan berperang di jalan Allah, sedangkan kami telah diusir dari kampung halaman kami dan (dipisahkan dari) anak-anak kami?" Tetapi ketika perang itu diwajibkan atas mereka, mereka berpaling, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Baqarah [2]:246)

Karenanya tidak mengherankan jika Nabi Daud ini dikenal sebagai penakluk. Jadi sebagaimana keterangan dalam Qur’an, selain Allah karuniakan kepada Nabi Daud ini hikmah dan kebijaksaan, Allah juga karuniakan kepadanya teknologi baju besi yang dengannya membuat tentara-tentara Daud ini unggul di medan perang. Keberhasilan Nabi Daud menaklukan berbagai negeri membawa Bani Israil masuk ke masa keemasannya. Dan semakin gilang-gemilang lagi hal itu di masa Nabi Sulaiman. Namun begitu, meski Allah sendiri masih merestui jalan penaklukan pendudukan sebagai jalan membangun peradaban di masa Nabi Daud itu, namun kita juga mendapati Allah memberikan catatan padanya untuk menjadi koreksi atas budaya itu di masa yang akan datang.

Koreksi Allah atas budaya penaklukan pendudukan ini ditandai dengan tidak direstuinya Nabi Daud untuk membangun Bait Suci. Alasan Allah tidak mengizinkan Nabi Daud untuk membangun Bait Allah itu adalah lantaran tangan Nabi Daud ini dianggap berlumuran darah. Jadi meski penaklukan pendudukan itu berada dalam garis restu Allah; karena itu masih menjadi satu-satunya pilihan terbaik untuk membangun peradaban di zaman itu, namun Allah pun harus meninggalkan tanda bagi generasi berikutnya bahwa sebenarnya jalan itu bukanlah jalan yang suci. Karena sebaik-baiknya jalan adalah jalan yang terbebas sepenuhnya dari mempertumpahkan darah. Maka kepada Nabi Sulaiman-lah Allah merestui dibangunnya Bait Allah yang kita kenal dengan sebutan Haikal Sulaiman.

Kerajaan Daud yang dapat juga kita sebut dengan Kekhalifahan Daud ini; karena memang Allah sendiri yang memaklumkan Nabi Daud melalui firman-Nya untuk menjadi khalifah di bumi, di sisi yang lain dikenal juga sebagai kekhalifahan yang adil dan bijaksana. Hikmah dan kebijaksanaan yang Allah karuniakan kepada Nabi Daud menjadi faktor utama yang menguatkan kerajaannya itu sebagaimana diterangkan dalam QS. Sad [38] ayat 20. Memang sedari awal Allah menjadikan Nabi Daud sebagai khalifah ini, Allah pun telah menetapkan satu standar bagi pemerintahan yang harus dijalankannya. Allah menetapkan bahwa setiap perkara di dalam pemerintahannya itu haruslah menjamin keadilan bagi setiap orang dan tidak boleh ia memutuskan perkara menurut hawa nafsunya.

(Allah berfirman), “Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah di bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Sad [38]:26)

Apa yang disampaikan pada ayat di atas sesungguhnya adalah perkara paling mendasar bagi sebuah pemerintahan. Ya! Perkara yang paling utama bagi sebuah pemerintahan itu adalah memastikan keadilan berlaku kepada setiap orang tanpa terkecuali. Sebab ketika ini berhasil diwujudkan sudah dapat dipastikan kedamaian dan kesejahteraan akan terwujud dengan sendirinya. Dan untuk mencapai itu, satu-satunya jalan adalah memastikan hukum yang berlaku padanya tidaklah boleh berdasarkan kepada hawa nafsu melainkan harus berdasar kepada hikmah kebijaksanaan. Harus merujuk kepada fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Harus berdasar kepada perikemanusiaan. Sebab hanya ketika perikemanusiaan ditegakkan sajalah perikeadilan dapat terwujud.

Meski pada dasarnya kekhalifahan Nabi Daud ini berlangsung dengan adil dan bijaksana, namun Allah juga meninggalkan catatan yang menjadi koreksi kedua atas kekhalifahan Nabi Daud ini. Sebagai seorang nabi, Nabi Daud tentu memiliki ketaatan yang tinggi kepada Allah. Namun sebagai seorang manusia yang padanya kekuasaan mutlak atas seluruh kerajaan berada di tangannya, tentu godaan yang harus ditanggung Nabi Daud sangatlah besar. Nabi Daud pun tergelincir dalam satu kesalahan yang mana kesalahan itu Allah ceritakan dalam Qur’an untuk menjadi pelajaran dan menjadi koreksi bagi kita semua tentang titik lemah sistem kerajaan itu. Cerita tentang kesalahan Nabi Daud tersebut dikisahkan pada ayat berikut ini:    

“Dan apakah telah sampai kepadamu berita orang-orang yang berselisih ketika mereka memanjat dinding mihrab? ketika mereka masuk menemui Dawud lalu dia terkejut karena (kedatangan) mereka. Mereka berkata, “Janganlah takut! (Kami) berdua sedang berselisih, sebagian dari kami berbuat zalim kepada yang lain; maka berilah keputusan di antara kami secara adil dan janganlah menyimpang dari kebenaran serta tunjukilah kami ke jalan yang lurus. Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja, lalu dia berkata, “Serahkanlah (kambingmu) itu kepadaku! Dan dia mengalahkan aku dalam perdebatan.” Dia (Dawud) berkata, “Sungguh, dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk (ditambahkan) kepada kambingnya. Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu.” Dan Dawud menduga bahwa Kami mengujinya; maka dia memohon ampunan kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertobat. Lalu Kami mengampuni (kesalahannya) itu. Dan sungguh, dia mempunyai kedudukan yang benar-benar dekat di sisi Kami dan tempat kembali yang baik. (QS. Sad [38]:21-25)

Al-Qur’an memang menceritakan perkara itu dalam bahasa kiasan. Tentang perkara sengketa kepemilikan kambing betina. Namun tentu saja ini sebenarnya bukan perkara tentang kambing betina, sebab jika hanya perkara kambing tentulah Nabi Daud tidak sampai menyungkur sujud dan bertaubat. Perkara kambing ini sebagaimana diriwatkan oleh para ulama sebenarnya hanyalah kiasan yang digunakan untuk menyadarkan Nabi Daud akan kesalahannya lantaran mengambil istri orang lain. Padahal Nabi Daud saat itu mempunyai 99 orang istri sementara orang itu hanya mempunyai satu orang istri saja.

Kisah Nabi Daud mengambil istri satu-satunya dari rakayatnya ini memang memiliki banyak versi. Dari versi yang sangat kasar yang menceritakan adanya perzinahan yang dilakukkan Nabi Daud dan konspirasi pembunuhan untuk mendampatkan istri orang tersebut, sampai versi cerita yang sangat halus dimana Nabi Daud meminta secara baik-baik wanita yang telah dilamar orang lain untuk menjadi istrinya yang ke 100. Namun begitu, sebenarnya kita dapat berpatokan kepada apa yang disampaikan oleh Qur’an pada ayat di atas. Yang dari pada itu kita mendapati inti dari pada kisah itu adalah Nabi Daud telah meminta istri satu-satunya dari seorang rakyat kerajaannya, dan meski orang tersebut berusaha untuk mempertahankannya, namun pada akhirnya ia terpaksa menyerahkan istrinya itu lantaran dikalahkan dalam perdebatan.

Tentu tindakan tersebut adalah tindakan yang sewenang-wenang. Karenanya Allah mengirim dua orang utusan kepada Nabi Daud untuk menyadarkannya atas tindakan sewenang-wenang yang telah dilakukannya itu. Nabi Daud pun tersadar atas kesalahan yang telah dilakukannya dan seketika menyungkur sujud bertaubat kepada Allah. Atas kesalahan itu Allah menerima taubat Nabi Daud, mengampuninya dan memulihkan kedudukannya di sisi Allah. Baginya tempat kembali yang baik. Namun peristiwa ini menjadi catatan tersendiri yang Allah ceritakan untuk menjadi pelajaran dan koreksi atas keberadaan satu aspek yang menjadi titik lemah di dalam sistem kerajaan itu sendiri.

Aspek penting yang menjadi titik lemah di dalam sistem kerajaan itu sendiri adalah kedaulatan mutlak yang berada di tangan seorang raja itu menghadirkan godaan kekuasaan yang besar. Jadi, jika seorang nabi sekelas Daud saja dapat tergelincir ke dalam dosa karena kekuasaan mutlaknya yang dimilikinya itu, apalah lagi jika jabatan seorang raja itu dipegang oleh manusia dengan kualitas biasa. Karena itu selain dari keharusan adanya hukum yang menjamin tegaknya perikemanusiaan dan perikeadilan di dalam sistem pemerintahan, menjadi penting juga perkara membatasi kekuasaan bagi seorang pemegang keadaulatan. Artinya sistem permerintahan model kekhalifahan Daud ini belumlah merupakan bentuk terbaik bagi peradaban umat manusia.

Sampai di titik ini, meski belumlah lengkap tapi kita telah mendapatkan wawasan yang cukup lumayan untuk membaca arah dan ujung perjalan peradaban yang hendak diwujudkan oleh para nabi Allah itu. Kita mulai dapat melihat alasan-alasan yang melatar-belakangi berbagai peristiwa yang terjadi di zaman setelah itu. Seperti misalnya: kenapa Nabi Isa tidak mempromosikan kerajaan Daud padahal itulah yang dinanti-nanti oleh bangsa Yahudi saat itu, juga kenapa Nabi Isa justru secara tersirat lebih mempromosikan kedaulatan rakyat. Kemudian kenapa Nabi Muhammad menolak menjadi raja dan kenapa terjadi pemindahan kiblat pada masa Nabi Muhammad itu. Termasuk berbagai isu penting lainnya. Yang insha Allah setelah kajian-kajian yang dibutuhkan telah kita selesaikan nantinya, kita akan memiliki kelengkapan argumentasi yang kuat untuk dengan teguh membuat kesimpulan tentang siapa yang layak disebut dengan sebuatan Khilafah Ala Minhajin Nubuwah itu.

Komentar