Isu atau topik tentang khilafah ini
memang akan menjadi satu topik penting di sepanjang perjalanan peradaban kita.
Dan bahkan kita tahu bahwa topik tentang khalifah itu sendiri telah menjadi
satu topik serius pada lembar pertama peradaban umat manusia. Yang bahkan saat
Nabi Adam masih di surga – belum Allah turunkan ke muka bumi ini, topik tentang
khalifah ini sudah menjadi percakapan serius antara Allah dan para malaikat-Nya
di sana.
Ketika Allah bermaksud menjadikan Nabi Adam sebagai khalifah di muka bumi, para malaikat mengutarakan ketidaksetujuannya akan rencana tersebut lantaran menilai bahwa manusia itu hanya akan merusak dan mempertumpahkan darah saja di atas bumi. Hal ini bisa kita lihat di dalam QS. 2 ayat 30:
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
“Dan (ingatlah)
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah
di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak
dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan
menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui.”
Jadi, apa sebenarnya yang Allah
maksud dengan khalifah ini? Dan kenapa ini menjadi satu topik besar serta
menjadi satu percakan serius antara Allah dengan para malaikat-Nya? Perkara ini
tentu menjadi perkara penting untuk kita pahami dengan baik. Artinya kita harus
paham betul apa definisi khilafah itu menurut Qur’an yang disebut sebagai kitab
yang menjelaskan segala sesuatu itu. Dan untuk memahami perkara tersebut kita
dapat memulainya dengan melihat penjelasan dalam QS. Shad [38] ayat 26:
يٰدَاوٗدُ اِنَّا جَعَلْنٰكَ خَلِيْفَةً فِى الْاَرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ الْهَوٰى فَيُضِلَّكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَضِلُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ ۢبِمَا نَسُوْا يَوْمَ الْحِسَابِ ࣖ
(Allah
berfirman), “Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah di bumi,
maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah
engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah.
Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat,
karena mereka melupakan hari perhitungan.”
Dari ayat tersebut kita dapat
mengerti apa yang Allah maksud dengan khalifah itu. Penunjukan Allah kepada
Nabi Daud yang kita tahu adalah seorang raja dengan imperium yang besar,
membuat kita dapat menarik kesimpulan bahwa bicara khalifah ini adalah bicara tentang
kekuasaan; tentang sistem kepemimpinan; atau tentang sistem pemerintahan.
Jadi kita dapat mengerti kenapa topik
tentang khalifah ini menjadi topik penting. Karena memang baik buruknya kehidupan
ini, begitu juga kehidupan berbangsa dan bernegara kita sangat bergantung pada
seperti apa sistem pemerintahan yang kita selenggarakan. Sistem pemerintahan
yang baik akan melahirkan masyarakat yang damai sejahtera dan sistem
pemerintahan yang buruk hanya akan melahirkan masyarakat yang kacau dan
menderita.
Dan sistem pemerintahan yang Allah kehendaki
itu; sebagaimana yang dijelaskan pada ayat di atas adalah sistem pemerintahan
yang di dalamnya terdapat jaminan keadilan untuk semua orang tanpa terkecuali.
Sistem pemerintahan yang tidak diselenggarakan menurut hawa nafsu; yang artinya
ia harus berlandaskan pada hikmah kebijaksanaan. Harus selaras sejalan dengan
fitrah Allah atas penciptaan manusia itu sendiri.
Artinya, bicara khalifah atau
kekhalifahan ini ia haruslah berpijak kepada dua hal yang sangat mendasar. Padanya
harus tegak perikeadilan yang mana untuk mencapai itu ia harus berdasar pada
perikemanusiaan. Dengan kata lain, definisi tentang khalifah itu adalah sistem
pemerintahan yang selaras sejalan dengan fitrah Allah atas penciptaan manusia
atau perikemanusiaan itu dan tegak di dalamnya keadilan yang berlaku sama
kepada setiap orang tanpa terkecuali atau perikeadilan itu.
Jadi sebenarnya sesederhana itu
perngertian khalifah itu. Sesederhana ukuran lurusnya din yang Allah jelaskan
pula pada QS. Ar-Rum [30] ayat 30 berikut ini:
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama; (selaras) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama; (selaras) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,
Jadi jangan sampai kita termasuk
orang-orang yang tidak mengetahui tentang hal itu. Jangan sampai karuwetan cara
kita berpikir justru malah menjauhkan kita dari kemurnian yang sebenarnya
tentang perkara agama dan khalifah ini.
Nah, dengan berbekal pemahaman itulah
baru kita melangkah lebih lanjut untuk memahami secara utuh tentang perkara
kekhalifahan ini. Agar pada akhirnya kita dapat melihat dengan terang tentang sistem
pemerintahan yang seperti apa yang Allah kehendaki untuk manusia itu dan menjadi
jelaslah buat kita siapakah sebenarnya khilafah ala minhajin nubuwah yang
dimaksud.
Pada titik ini memang masih terlalu
dini buat kita untuk menarik kesimpulan yang tegas meski itu sebenarnya
memungkinkan. Dari ayat tersebut di atas secara tersirat sebenarnya kita dapat
menangkap arah dan bentuk sistem pemerintahan yang diridhoi-Nya itu. Akan
tetapi agar kita dapat sampai pada titik teguh hati; sampai pada titik
kesimpulan yang meyakinkan, mari kita lebih dulu mengkaji jejak-jejak yang
diwarisi para nabi Allah kepada kita untuk melihat gambar utuhnya.
Catatan penting yang perlu juga untuk
kita perhatikan adalah bahwa meski QS. Shad [38] ayat 26 di atas bicara tentang
pemerintahan Nabi Daud yang kita tahu bersama berbentuk kerajaan dengan sistem imperiumnya,
namun jangan dulu kita tergesa-gesa menarik kesimpulan bahwa sistem pemerintahan
yang demikian itulah yang Allah kehendaki. Karena kita tahu era Nabi Daud
sendiri belumlah merupakan titik puncak dalam estafeta kenabian. Bahkan Allah
juga meninggalkan catatan-catatan tersediri tentang Kerajaan Daud ini yang
nanti akan kita bahas tentangnya. Intinya, kita harus terlebih dulu menarik
garis lurus yang utuh sampai dengan ke zaman Nabi Muhammad untuk kemudian kita
sama-sama menarik kesimpulan yang meyakinkan tentang perkara ini.
Dan sebagaimana telah disampaikan
sebelumnya, bahwa bisa saja kita langsung merujuk kepada Nabi Muhammad yang
memang berada pada titik puncak estafeta kenabian untuk melihat syariat
kepemimpinan atau syariat bernegara yang ditinggalkanya untuk kita, namun jika
kita tidak berbekal pemahaman akan jejak-jejak yang ditinggalkan para nabi
sebelumnya kita menjadi tidak memiliki topangan-topangan argumentasi untuk
memahami apa-apa yang mendasari pemberlakuan-pemberlakuan yang dilakukan oleh
nabi Muhammad itu sendiri.
Social Media