Kajian
kita kali ini adalah tentang khilafah. Dimana kajian kita ini bersentral kepada
sebuah hadits tentang Lima Fase Zaman riwayat Ahmad yang banyak menjadi rujukan
para pengusung khilafah. Berikut isi dari pada hadits tersebut:
“Adalah masa Kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah ‘ala minhajin Nubuwwah (Pemerintahan yang mengikuti jejak kenabian) adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Mulkan ‘Adlon (Kerajaan yang menggigit), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Mulkan Jabbariyah (Kerajaan yang zalim), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (Pemerintahan yang mengikuti jejak kenabian).” Kemudian beliau diam.” (HR. Ahmad)
Nah jika benar akan datang satu era dimana khilafah ala minhajin nubuwwah akan hadir di tengah-tengah kita sebagaimana dikabarkan oleh hadits di atas, pertanyaan pentingnya adalah: siapakah yang dimaksud dan dengan ukuran apa kita mesti mengukur kebenarannya?
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut kita memang hanya memiliki dua alat ukur. Yaitu
Al-Qur'an dan As Sunnah. Namun begitu terkait As-Sunnah ini tentu tidak boleh
disempitkan menjadi hanya sebatas teks yang tertera pada buku-buku hadits saja.
Tapi harus bersifat luas meliputi totalitas jejak atau sejarah dari pada
perjalanan hidup Rasulullah itu sendiri.
Kajian terhadap hadits 5 fase zaman
tersebut memang menjadi hal yang sangat menarik. Menariknya karena ini membuat
kita mau tidak mau harus mengkaji totalitas zaman. Mengkaji keseluruhan zaman
dari zaman kenabian; yang berarti dari zaman Nabi Adam sampai dengan zaman Nabi
Muhammad, dan terus sampai ke zaman kita hari ini.
Dan sebenarnya, memang untuk memahami Islam secara benar dan utuh itu,
kita tidak bisa hanya mengkajinya dari sepotong zaman saja. Karena kita tahu bahwa
Islam itu sendiri bukan agama yang ada baru kemarin. Islam adalah agama yang
sudah ada bahkan sejak peradaban pertama umat manusia. Sejak zaman Nabi Adam. Hal
ini turut diperkuat dengan keterangan hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang menjelaskan:
“Para nabi bagaikan saudara seayah, agama mereka
satu yaitu agama Islam, dan ibu-ibu (syari’at-syari’at) mereka berbeda-beda”
Begitu juga halnya kalau kita bermaksud mengkaji tentang khilafah yang oleh
beberapa kelompok dipandang sebagai representatif dari pada tegaknya Islam ini.
Tentu kita tidak bisa mengkajinya hanya dari zaman dinasti-dinasti Islam seperti
zamannya bani Ummayah, Abasiyah dan Utsmaniyah saja – sekalipun memang sejarah gilang-gemilangnya
Islam dapat dikatakan ada di masa-masa itu. Tapi tentu kita tidak bisa mendasari
kebenaran sesuatu hanya dari karena di sanalah gilang gemilangnya Islam itu. Dan
kita juga tidak bisa mendasari keputusan tindakan kita sebatas hanya karena dorongan
romantisme kejayaan dan kemegahan di masa lalu itu.
Jadi, selain perlunya kita menarik pelajaran-pelajaran penting dari masa
dinasti-dinasti Islam, kita juga tentu harus mundur kebelakang untuk mengkaji
secara mendasar era Khulafaur Rasyidin yang oleh hadits tersebut di atas justru
disebut sebagai Khilafah ala minhajin nubuwah itu.
Dan jika kita cermati baik-baik, kunci untuk memahami hadits tersebut
ada terletak pada istilah “Khilafah Ala Minhajin Nubuwah” itu sendiri. Istilah
khilafah ala minhajin nubuwah yang bermakna pemerintahan yang mengikuti jejak
kenabian, telah menempatkan ukuran kebenaran dari pada khilafah yang dimakasud
terletak pada ikut atau tidak ikutnya dengan jejak kenabian. Dengan kata lain,
rahasia kebenaran yang kita cari sebenarnya adanya justru di dalam jejak
kenabian itu sendiri.
Artinya, yang harus kita temukan justru adalah jejak kenabian mana yang
dimaksud. Yang dalam konteks ini tentu terkait dengan sistem pemerintahan atau
syariat bernegara. Jadi, syariat bernegara seperti apakah sebenarnya yang pernah
Rasulullah contohkan untuk kita. Inilah yang harus kita temukan.
Terkait dengan itu, pada dasarnya kita bisa saja langsung masuk kepada
kajian di zaman Nabi Muhammad untuk melihat sistem pemerintahan atau syariat
bernegara seperti apa yang beliau contohkan kepada kita. Terlebih-lebih nabi Muhammad
sendiri adalah seorang nabi yang berada di puncak estafeta peradaban yang
dibangun di sepanjang garis peradaban para nabi. Dan nabi Muhammad juga adalah nabi
akhir zaman atau penutup dari para nabi.
Namun dari itu, jika kita bermaksud untuk sampai kepada titik keteguhan
hati tentang perkara ini; sampai kepada titik tidak ada keraguan kepadanya;
sampai pada titik mengerti sepenuhnya seperti apa sistem pemerintahan yang
digariskan para nabi untuk kita itu, maka kita memang harus mengkajinya dari
keseluruhan zaman kenabian. Artinya kita harus melakukan kajian dari zaman Nabi
Adam sampai dengan zaman Nabi Muhammad.
Hal penting yang juga harus kita pahami, para nabi itu meski satu dengan
yang lainnya dibatasi oleh jarak waktu yang jauh, tapi sebenarnya mereka
tidaklah berada dalam misi yang terputus. Mereka berada dalam satu garis misi
yang sama. Sehingga setiap kisah dan peninggalan yang diwariskan para nabi
kepada kita hari ini sebenarnya satu kesatuan rangkaian pesan dan pengajaran
untuk kita. Tentang hal ini kita dapat melihat penjelasan QS. Hud [11] ayat
120:
وَكُلًّا نَّقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ اَنْۢبَاۤءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهٖ فُؤَادَكَ وَجَاۤءَكَ فِيْ هٰذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَّذِكْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ
Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan
kepadamu, agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah
diberikan kepadamu kebenaran, pelajaran dan peringatan bagi orang yang beriman.
Jadi, lantaran apa Qur’an mengabadikan kisah para pembawa risalah itu
untuk kita yang hidup di hari ini, tidak lain adalah agar kita dapat melihat
kebenaran dengan utuh melalui rangkaian kisah tersebut. Dan agar dengan itu
menjadi teguh hatilah kita. Menjadi yakinlah kita akan konstruksi kebenaran
yang dimaksud oleh para pembawa risalah itu.
Setiap kisah para nabi yang Allah ceritakan kepada kita melalui Qur’an
seumpama kepingan-kepingan puzzle yang harus kita rangkai dan satukan agar kita
dapat melihat gambar kebenaran secara utuh dan menjadi teguh hati karenanya. Di
dalam setiap kisah para nabi itulah terkandung kebenaran, pelajaran dan
peringatan bagi orang-orang yang beriman.
Para nabi Allah yang diutus kepada kita dari zaman ke zaman itu
sesunguhnya berada dalam satu wasiat yang sama dan untuk menegakkan satu
syariat yang sama. Para nabi Allah itu berada dalam satu rangkaian estafeta
untuk mewujudkan satu bangunan peradaban yang disebut dengan din yang tidak
terdapat ruang perpecahan di dalamnya sebagaimana dijelaskan oleh QS. Asy-Syura
[42] ayat 13 berikut:
۞ شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا وَصّٰى بِهٖ نُوْحًا وَّالَّذِيْٓ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهٖٓ اِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى وَعِيْسٰٓى اَنْ اَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلَا تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِۗ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوْهُمْ اِلَيْهِۗ اَللّٰهُ يَجْتَبِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يُّنِيْبُۗ
Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama
yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu
(Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu
tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya. Sangat berat
bagi orang-orang musyrik agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih
orang yang Dia kehendaki kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada-Nya
bagi orang yang kembali.
Keterangan pada ayat tersebut menjadi sebuah catatan yang sangat penting
buat kita untuk mengerti bahwa pada nabi Allah itu berada dalam satu garis misi
yang sama. Bahwa Allah mewasiatkan hal yang sama kepada para nabi-Nya, yaitu
untuk menegakkan din atau sistem hidup yang tidak ada perpecahan padanya.
Dan sistem hidup yang demikian itu hanya bisa diwujudkan dengan mengacu
kepada fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Bersentral
kepada fitrah Allah inilah satu-satunya jalan untuk mewujudkan sistem hidup
yang tidak ada perpecahan di dalamnya sebagaimana dapat kita pahami melalui QS.
Ar-Rum [30] ayat 30-32:
فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ ۞ مُنِيْبِيْنَ اِلَيْهِ وَاتَّقُوْهُ وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَلَا تَكُوْنُوْا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۙ مِنَ الَّذِيْنَ فَرَّقُوْا دِيْنَهُمْ وَكَانُوْا شِيَعًا ۗ كُلُّ حِزْبٍۢ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُوْنَ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
agama; (selaras) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut
(fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus,
tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, dengan kembali bertobat kepada-Nya
dan bertakwalah kepada-Nya serta laksanakanlah salat dan janganlah kamu
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah
belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa
bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.
Jadi, jangan sampai apa yang kita lakukan malah justru menegakkan yang
sebaliknya. Jangan sampai kita terjebak dalam satu pola perpecah belahan; pola hidup
bergolong-golongan dimana satu sama lain saling bangga membanggakan golonganya
masing-masing. Karena sesungguhnya itulah hakekat dari kemusyirikan itu.
Berapa banyaknya hari ini kita saksikan orang-orang dan
kelompok-kelompok yang berdiri atas nama agama dan mengaku menegakkan agama,
padahal mereka hanya memecah belah umat saja. Maka benarlah apa yang Allah
firmankan pada ayat di atas bahwa tentang agama yang lurus itu kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya. Termasuk mereka yang menutupi dirinya dengan
berbagai atribut dan gelar-gelar agamis itu kebanyakan mereka pun sebenarnya tidak
mengetahuinya.
Maka, penting bagi kita untuk tidak tergesa-gesa dan tanpa pengetahuan
yang cukup menarik kesimpulan serta membenarkan orang-orang atau kelompok-kelompok
yang mengaku sebagai penegak agama Allah, seperti halnya kelompok-kelompok
pengusung khilafah itu. Terimalah sesuatu atau tolaklah sesuatu itu dengan berdasar
pada pengetahuan yang kuat.
Artinya, jika datang satu kelompok mengaku sebagai penegak agama Allah
atau mengaku sebagai representatif dari kembalinya Khilafah ala minhajin nubuwah
misalnya, jangan kita tergesa-gesa membenarkannya hanya lantaran mereka membawa
ayat-ayat dan hadits-hadits yang banyak. Teliti dan kajilah dengan seksama.
Social Media