BLANTERORIONv101

Intro - NKRI Penyelenggara Peradaban Baitullah

27 Januari 2022

Allah telah menjadikan Ka‘bah, rumah suci itu sebagai pusat bagi manusia, dan (demikian pula) bulan haram, hadyu dan qala'id. (Allah menjadikan yang) demikian itu agar kamu tahu, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.  (QS. Al Maidah [5]:97)

Bukan tanpa maksud tentunya Allah menjadikan Ka’bah atau Baitullah ini sebagai sentral dalam peribadatan umat muslim – dimana hari ini terdapat 2 milyar manusia yang harus menghadapkan wajah mereka berkiblat ke arahnya di dalam setiap shalat mereka. Secara fisik bangunan Ka’bah itu memang sebenarnya hanya sebuah bangunan batu berkain hitam dengan bentuknya yang persegi empat itu. Akan tetapi secara rohani Ka’bah menyimpan satu rahasia yang sangat besar. Terkandung petunjuk dalam tataran yang sangat tinggi padanya. Yang dalam QS. 3 ayat 96 disebut ia dengan predikat “hudallil’alamin”. Petunjuk bagi semesta alam. Dan adakah satu tataran petunjuk yang lebih besar dan lebih tinggi dari pada itu?

Pertanyaannya kemudian, rahasia dan petunjuk apakah yang Allah letakan pada Baitullah ini? Dan untuk mengurai pertanyaan tersebut kita bisa berangkat dengan memahami yang Allah terangkan melalui QS. 3 ayat 96-97 berikut:


Sesungguhnya rumah mula-mula yang dibangun untuk manusia, ialah (Baitullah) yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi seluruh alam. Di sana terdapat tanda yang jelas, maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya amanlah dia. Dan kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari haji, maka ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya dari seluruh alam.

Pertama, ia disebut sebagai rumah mula-mula yang dibangun untuk manusia. Ka’bah disebut sebagai rumah tentu bermakna simbolik. Rumah dalam ini bermakna bangunan sosial. Satu bentuk sistem hidup yang menjadi naungan dan perlindungan umat manusia. Yang lebih jauhnya dapat kita artikan sebagai simbol dari satu tatanan pemerintahan atau tatanan bernegara. Atau dalam bahasa Qur’an disebut Ad-Din. Dengan kata lain, pada baitullah itu terkandung suatu konsepsi yang tinggi tentang bentuk bangunan sosial yang harus umat manusia wujudkan.

Kedudukan baitullah sebagai rumah mula-mula mengandung isyarat bahwa baitullah ini adalah sebuah prototipe. Artinya, sebenarnya Allah telah sejak mula-mula meletakan satu petunjuk bagi manusia tentang bagaimana mestinya mereka membangun peradabannya. Meletakan satu model tatanan sosial yang diberkahi. Tatanan sosial yang akan menjamin keamanan dan keselamatan bagi manusia. Untuk itu memang mestinya kita bukan hanya sekedar menjadikan ka’bah sebagai kiblat shalat kita, melainkan juga menjadikannya sebagai sentral rujukan dalam membangun peradaban tatanan sosial kita.

Nah, dari itu juga kita dapat memahami korelasi antara perintah menghadapkan wajah kepada agama Allah dengan perintah menghadapkan wajah kepada baitullah. Dengan kata lain sebenarnya berkiblat ke arah ka’bah itu adalah simbol dari menghadapkan wajah kepada agama Allah. Kepada agama yang selaras dengan firtah Allah. Yang dalam QS.30:30 disebut sebagai Dinul Qayyim. Agama yang tepat. Lebih jauh lagi ini dari itu sebenarnya ini dapat disebut sebagai sebuah perintah untuk mendirikan satu sistem hidup atau satu tatanan sosial yang benar-benar berdiri di atas fitrah Allah itu.

Pada kajian kita ini nanti kita akan sama-sama melihat keselarasan konsepsi Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan konsepsi baitullah sebagai simbolika dari tatanan yang diridhai Allah itu. Kita juga insya Allah akan sampai kepada kesimpulan yang kuat bahwa sebenarnya NKRI ini adalah negeri penyelenggara tatanan baitullah tersebut.

Benar memang bahwa NKRI - negara yang kita cintai ini, bukanlah sebuah negara yang tanpa cela dalam tata laksana dan praktek bernegaranya. Akan tetapi, meski demikian sebenarnya konstruksi sistem dan prinsip-prinsip dasar dalam konsepsi bernegara kita ini selaras dan sejalan adanya dengan apa yang Allah kehendaki. Dan bahkan dapat kita katakana merupakan penggenapan dari pada tatanan yang diperjuangkan oleh para nabi dari zaman ke zaman itu. Lebih lanjutnya nanti akan kita paparkan dalam kajian-kajian kita.

Kedua, diterangkan bahwa padanya terdapat tanda yang nyata – Maqam Ibrahim. Hal ini bermakna bahwa dalam upaya kita mewujudkan tatanan baitullah ini, kita harus berdiri di tempat berdirinya nabi Ibrahim. Kita harus berdiri di atas keterangan atau di atas hujjah yang sama sebagaimana nabi Ibrahim. Hujjah Ibrahim inilah yang harus menjadi pijakan kita untuk mewujudkan tatanan sosial yang padanya terdapat jaminan keamanan dan keselamatan itu.

قُلْ اِنَّنِيْ هَدٰىنِيْ رَبِّيْٓ اِلٰى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيْمٍ ەۚ دِيْنًا قِيَمًا مِّلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًاۚ وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya Tuhanku telah memberiku petunjuk ke jalan yang lurus (shiratal mustaqim), agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus. Dia (Ibrahim) tidak termasuk orang-orang musyrik.” (QS. 6:161)

Shiratal mustaqim adalah perkara sangat penting yang senantiasa kita minta kepada Allah di dalam setiap shalat kita. Yang mana rupanya ini sangat erat sekali kaitannya dengan dinul qayyim atau agama yang akurat. Dan rupanya juga ini tidak lepas dari merujuk kepada agama Ibrahim yang lurus itu

Di Qur’an sendiri kita tahu tidak sedikit seruan yang menyeru kita untuk mengikuti agama Ibrahim yang lurus itu. Dan nabi Ibrahim sendiri disebut oleh Qur’an sebagai imam bagi seluruh manusia dan Allah juga menyebutnya sebagai kesayangan-Nya. Sebutan lain yang menyebut nabi Ibrahim sebagai “bapaknya para nabi” pun ini bukan hanya lantaran 19 nabi dari 25 nabi yang kita imani itu adalah keturunan darah dari nabi Ibrahim, melainkan juga karena para nabi Allah tersebut rujukan agama yang dibawanya bersentral kepada agama Ibrahim yang lurus itu. Karenanya tidak mengherankan jika agama Ibrahim ini disebut sebagai shiratal mustaqim sebagaimana pada QS. 6:161 di atas.

Dan kedudukan nabi Ibrahim yang tinggi di hadapan Allah ini tidak lepas dari sebuah hujjah yang menjadi dasar berpijaknya itu. Seperti apa hujjah yang menjadi dasar pijakan nabi Ibrahim tersebut dapat kita lihat dalam QS.6:82-83 berikut:

اَلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَمْ يَلْبِسُوْٓا اِيْمَانَهُمْ بِظُلْمٍ اُولٰۤىِٕكَ لَهُمُ الْاَمْنُ وَهُمْ مُّهْتَدُوْنَ ࣖ وَتِلْكَ حُجَّتُنَآ اٰتَيْنٰهَآ اِبْرٰهِيْمَ عَلٰى قَوْمِهٖۗ نَرْفَعُ دَرَجٰتٍ مَّنْ نَّشَاۤءُۗ اِنَّ رَبَّكَ حَكِيْمٌ عَلِيْمٌ

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka mendapat petunjuk. Dan itulah keterangan Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan derajat siapa yang Kami kehendaki. Sesungguhnya Tuhanmu Mahabijaksana, Maha Mengetahui.

Jadi, itulah hujjah yang Allah berikan kepada nabi Ibrahim untuk mengurus dan mengelola kaumnya itu; hujjah yang denganya Allah tinggikan derajat siapa yang dikehendaki-Nya itu; hujjah yang mestinya menjadi dasar berpijak bagi tatanan sosial yang hendak kita wujudkan agar dengannya ia menjadi tempat yang aman itu. Bahwa hanya dengan berpijak kepada iman yang tidak dicampuradukan dengan kezaliman itu sajalah keadaan yang aman itu dapat diwujudkan. Di atas dasar iman yang bersih itulah sebuah tatanan harus didirikan.

Seperti apakah hakekat dari iman yang tidak dicampuradukan dengan kezaliman itu dan apakah tatanan hidup berbangsa dan bernegara yang kita selenggarakan hari ini telah selaras sejalan dengan itu, ini termasuk hal yang akan kita urai dalam kajian kita ini. Melalui kajian inilah kita akan menemukan bahwa kosepsi dasar dari pada konstruksi tatanan berbangsa dan bernegara kita ini sebenarnya telah selaras sejalan dengan prinsip-prinsip agama Ibrahim yang terkodekan pada baitullah itu.

Ketiga, kewajiban manusia kepada Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke baitullah. Ini tentu tidak hanya dimaksudkan ibadah dalam pengertian ritual saja. Lebih jauh lagi dari itu adalah bagaimana mengimplementasikan perjalan haji ke Baitullah itu dalam ralitas kehidupan kita. Dan bahkan kita tahu bahwa sebenarnya setiap ibadah ritual apapun tidaklah selesai hanya pada tataran ritualnya saja. Tapi ia harus berlanjut ke dalam tataran implementasi dalam realitas kehidupan kita. Sebab Allah memang tidak bermaksud menyusahkan manusia dengan segala rupa beribadatan itu melainkan hendak mengajarkan manusia kebenaran yang akan memudahkan hidupnya.

Perjalanan haji ke baitullah tentu syarat dengan pelajaran. Haji yang secara bahasa berasal dari kata al-Hajju yang berarti menuju; yang secara ritual bermakna menuju kepada Baitullah ini, mengisyaratkan kepada kita bahwa baitullah ini sesungguhnya adalah jawaban. Baitullah inilah tujuan. Dialah hudallil’alamin itu dan dialah shiratal mustaqim itu. Kepadanyalah kita harus menghadapkan wajah. Formulasi yang terangkum dalam haji dan seluruh simbolikanya inilah yang harus kita pahami agar darinya kita memiliki ukuran tentang bentuk tatanan sosial yang diridhoi-Nya serta bagaimana mewujudkannya.

Dan salah satu point penting dalam kajian ini adalah juga tentang bagaimana kita melihat melalui satu rekonstruksi sejarah perjalanan bangsa Indonesia ini dan sejarah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia bahwa perjalanan tersebut adalah seibarat dengan perjalanan menuju Baitullah itu. Satu perjalanan menuju kepada terbentuknya satu tatanan yang diridhai Allah itu. Satu tatanan berbangsa dan bernegara yang selaras sejalan dengan konsepsi baitullah itu sendiri.

Demikian itulah hal-hal mendasar yang akan kita urai dengan seksama dalam kajian kita agar sekiranya kita memiliki pandangan dan pemahaman yang jelas bersih tentang seperti apa sebenarnya bentuk tatanan yang diridhoi Allah itu.

Komentar