Yusuf bin Yakub yang adalah cucu dari
Nabi Ishaq ini dapat kita katakan adalah nabi pertama yang terlibat langsung
dalam satu pemerintahan. Latar belakang kisah Nabi Yusuf sendiri sebenarnya
punya kemiripan dengan kisah Nabi Musa. Meski berada di zaman yang berbeda,
namun mereka adalah dua orang nabi yang sama-sama berada di dalam lingkungan
kerajaan Mesir. Kedua kerajaan tersebut; baik di masa Nabi Yusuf maupun di masa
Nabi Musa, keduanya pun sama-sama bukan kerajaan yang berdasar kepada agama
tauhidnya Ibrahim. Namun begitu Nabi Yusuf justru memilih untuk melebur menjadi
bagian yang satu dengan kerajaan Mesir itu sementara Nabi Musa memilih untuk
memerangi kerajan Fir’aun tersebut.
Dan jika kita cermati, perbedaan sikap antara Nabi Yusuf dan Nabi Musa ini disebabkan alasan yang sangat mendasar. Di zaman Nabi Yusuf kerajaan Mesir saat itu dipimpin oleh seorang raja yang berorintasi kepada kesejahteraan rakyat; dimana kerajaan diselenggarakan dengan adil dan bijaksana di atas dasar-dasar perikemanusiaan dan perikeadilan, sementara di zaman Nabi Musa kerajaan Mesir saat itu dipimpin oleh seorang raja yang menindas kepada rakyat; dimana kerajaan diselenggarakan secara zalim di atas dasar perbudakan dan penindasan.
Sejak awal berada dalam lingkaran
kerajaan Mesir, Nabi Yusuf sendiri kita dapati tidak sekali pun menunjukkan
pembangkaan terhadap kerajaan. Bahkan ketika dirinya harus dipenjara meski ia
tidak bersalah, ia menerima itu tanpa sedikitpun perlawanan karena ia tahu
bahwa setiap perkara dalam kerajaan akan diputuskan dengan adil. Nah, dari
kisah dipenjarakannya Nabi Yusuf bersama dua orang pemuda yang satu dari
padanya adalah pemuka kerajaan itulah kita mendapatkan konfirmasi bahwa
kerajaan Mesir saat itu memang bukanlah kerajaan yang berdasar kepada agama tauhidnya
Nabi Ibrahim.
“Dan aku pengikut
agama bapak-bapakku. Yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya’qub. Tiadalah patut bagi Kami
mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah. Yang demikian itu adalah dari
karunia Allah kepada kami dan kepada manusia; tetapi kebanyakan manusia tidak
mensyukuri. Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang
bermacam-macam itu ataukah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa? Kamu tidak
menyembah yang selain Allah kecuali hanya nama-nama yang kamu dan nenek
moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keteranganpun tentang
nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan
agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 38-40).
Jadi, meski Nabi Yusuf tahu bahwa
kerajaan dimana ia hidup di dalamnya itu bukanlah kerajaan yang bertauhid
sebagaimana agama Ibrahim mengajarkan, namun keadaan kerajaan yang
terselenggara secara adil dan beradab itu membuat Nabi Yusuf siap menghormati
sistem dan hukum yang berlangsung di dalam kerajaan. Dari ayat-ayat yang lain –
diantarnya QS.12:50-51 – kita mendapati bahwa kerajaan Mesir di era Nabi Yusuf
ini meski bukan kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang berada di garis
agama Ibrahim, namun toleransi terhadap keyakinan di kalangan rakyatnya
terlihat jelas. Kita mendapati sebagian dari rakyatnya yang percaya kepada
Allah dapat dengan leluasa hidup menurut kepercayaan mereka itu.
Dan sebagaimana kita ketahui bersama
ketika karena keberhasilannya menfasirkan mimpi sang raja; dimana tafsir mimpi
tersebut melahirkan satu skema yang cermerlang untuk menyelamat kerajaan Mesir
dari bencana paceklik yang akan dihadapinya itu, Nabi Yusuf pun kemudian
diangkat menjadi pemegang perbendaharaan kerajaan. Mengabdi kepada seorang raja
yang adil dan bijaksana meski tidak seiman sebagaimana ditunjukkan oleh Nabi
Yusuf ini menunjukan bahwa perikemanusiaan dan perikeadilan itu menjadi satu
faktor utama yang harus dikedepankan dalam satu tatanan. Ketauladanan Nabi
Yusuf dan ajaran agama Ibrahim yang dibawanya itu pun menjadi perkara yang
dengan sendirinya berkembang di kerajaan Mesir itu. Dan bahkan keluarga besar
Nabi Yakub dibawa oleh Nabi Yusuf menjadi bagian dari keluarga besar kerajaan
yang dihormati di kerjaan Mesir itu.
Jadi dari kisah Nabi Yusuf ini kita
belajar untuk mengedepankan esensi dari pada agama itu sendiri ketimbang
mementingkan pekara lebel-lebel. Pelajaran yang kita tarik dari pada kisah Nabi
Yusuf ini memang belumlah membawa kita pada kesimpulan akhir tentang bentuk
paripurna dari tatanan yang Allah kehendaki itu. Sementara kita simpan dulu ini
sebagai bagian dari perbendaharaan hikmah dan kebijaksaan sampai dengan kita
menyelesaikan kajian utuh kita tentag perjalanan panjang peradaban para nabi
Allah itu.
Penting memang bagi kita untuk tidak
tergesa-gesa menarik kesimpulan sampai gambaran utuh dan lengkapnya telah kita
satukan. Maka baik kiranya kita mengingat kembali dimana tujuan Allah
meninggalkan kisah-kisah para utusannya kepada kita itu adalah agar kita dapat
menarik satu kesimpulan dengan teguh hati sebagaimana diterangkannya dalam ayat
berikut:
“Dan semua kisah
rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu, agar dengan kisah itu Kami teguhkan
hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu kebenaran, pelajaran dan
peringatan bagi orang yang beriman.” (QS. Hud [11]:120)
Social Media