BLANTERORIONv101

#13 KETIKA MUHAMMAD MENANTI KIBLAT BARU

28 Mei 2022

Beberapa bulan sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah; dimana di Madinah itulah tatanan peradaban Islam akan dimulai, Allah perjalankan Nabi Muhammad sebelum itu untuk melakukan Isra dan Mi’raj. Peristiwa Isra Mi’raj itu sendiri sesungguhnya adalah sebuah perjalanan pembekalan sekaligus sebuah konfirmasi. Konformasi tentang syariat peradaban yang diemban Rasulullah dalam misi kenabiannya itu. Di dalam perjalanan itulah Nabi Muhammad ditunjukkan dua model peradaban yang ada di dalam garis kenabian. Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa. Masjidil Haram dengan Ka’bahnya itu; yang sejak mula-mula menjadi simbol tatanan peradaban damai yang diperjuangkan para nabi, atau Masjidil Aqsa dengan Haikal Sulaiman yang telah runtuh itu; yang menjadi simbol tatanan peradaban Dinasti Daud yang pernah mencapai puncak kejayaannya namun telah runtuh berkeping-keping.

Sebagaimana telah kita bahas sebelumnya, syariat kedinastian Nabi Daud ini sendiri sebenarnya memang telah dinasakhkan oleh Nabi Isa saat kedatangannya. Namun begitu, melalui perjalanan Isra Mi’raj inilah Nabi Muhammad mendapat konfirmasi ketidak-terikatannya kepada syariat Kedinastian Daud itu. Perintah shalat yang baru; berbeda dengan nabi-nabi sebelumnya, yang Nabi Muhammad dapatkan dalam peristiwa mi’raj ke sidratul muntaha, adalah sebuah konfirmasi bahwa Rasulullah diutus untuk membangun syariat yang baru. Mewujudkan sebuah peradaban baru yang tidak terikat dengan peradaban panjang kedinastian yang telah dibangun oleh Nabi Daud sebelumnya. Meski perintah untuk berkiblat ke arah Masjidil Haram belum Allah turunkan dalam peristiwa Isra Mi’raj ini, namun ketidak-terikatannya dengan peradaban Masjidil Aqsa menjadi sebuah konfirmasi yang cukup untuk Nabi Muhammad untuk menentukan arah peradaban yang akan dibangunnya itu.

Karena itulah setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, dimana di Madinah itu Nabi Muhammad mendapat ruang untuk mendirikan peradabannya, tidaklah ia membangun peradaban Madinah itu sebagaimana Nabi Daud membangun peradabannya. Nabi Muhammad tidak meletakan dasar-dasar peradaban raja-raja dengan sistem kedinastiannya itu di Negara Madinah. Nabi Muhammad justru meletakan dasar-dasar kerakyatan dan menegakkan prinsip kemerdekaan, kesetaraan dan persaudaraan. Dan tidak mengherankan karenanya jika kita mendapati dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abdurrahman bin Abu Uqail Ats-Tsaqafi, dimana diceritakan ketika seseorang bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak meminta kerajaan sebagaimana Nabi Sulaiman?”. Mendengar itu Rasulullah tertawa dan kemudian beliau bersabda: “Semoga menjadi teman kalian merupakan hal yang lebih utama di sisi Allah dibandingkan memperoleh kerajaan Sulaiman”.

Artinya memang konsepsi kerajaan dan kedinastian yang berlangsung sekitar 300 tahun lamanya sejak masa Nabi Daud dan Nabi Sulaiman itu telah sepenuhnya dinasakhkan. Jika Nabi Isa pernah menolak disebut sebagai Anak Daud, Nabi Muhammad pun ketika Allah melalui malaikatnya menawarkan dua pilihan untuk menjadi Raja sekaligus Nabi atau menjadi seorang Hamba sekaligus Rasul, Nabi Muhammad memilih untuk menjadi seorang Hamba dan Rasul. Hal ini diceritakan dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah berikut: 

“Malaikat Jibril duduk di samping Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau menengadahkan mukanya ke langit. Tiba-tiba ada seorang malaikat yang turun. Malaikat Jibril berkata,’Malaikat ini belum pernah turun sejak diciptakan kecuali saat ini. Ketika malaikat tersebut turun, beliau berkata,’Wahai Muhammad! Aku diutus kepadamu oleh Rabb-mu. Apakah Engkau ingin dijadikan sebagai seorang Raja sekaligus Nabi atau seorang hamba sekaligus Rasul?’ Malaikat Jibril berkata,’Merendahlah kepada Rabb-mu, wahai Muhammad!’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,’Sebagai seorang hamba dan Rasul.’”

Dan jika kita melihat Piagam Madinah yang adalah Undang-undang Dasar Negara Madinah ini, kita melihat bahwa memang Negara Madinah yang dibangun oleh Rasulullah itu telah sepenuhnya meninggalkan konsepsi raja-raja dari tanah peradaban Nabi Sulaiman. Nabi Muhammad tidak mengangkat dirinya sebagai raja di Madinah dan bahkan Piagam Madinah itu tidak dibuat sendiri oleh Nabi Muhammad melainkan disusun dengan melibatkan para pemuka suku di Madinah. Konsep persatuan di dalam Piagam Madinah pun berbeda; dimana setiap suku dan penganut agama diberikan kemerdekaan untuk menjalankan tradisi kesukuan dan keagamaannya masing-masing tanpa harus diseragamkan. Dan bahkan mereka yang beragam suku dan agamanya di Madinah itu dipersaudarakan oleh Rasulullah dalam satu ikatan yang menjamin keadilan yang setara bagi setiap orang. Mereka yang berbeda-beda suku dan agamanya itu dipersaudarakan dan disebut sebagai Ummat Yang Satu.

Negara Madinah dengan Piagam Madinahnya ini adalah syariat bernegara yang dicontohkan langsung oleh Rasulullah kepada kita umatnya. Dan inilah pokok intisari dari pada Minhaj Nubuwah itu. Artinya prinsip-prinsip Piagam Madinah inilah yang semestinya menjadi patokan dan ukuran bagi umat muslim dalam penyelenggaran sistem pemerintahannya. Lebih lanjutnya tentang Piagam Madinah sebagai pokok intisari dari pada Minhaj Nubuwah akan kita bahas dalam kajian berikutnya. Hal yang perlu kita pahami dulu adalah perkara pemindahan kiblat itu sendiri. Dimana meski Nabi Muhammad telah menyakini dan telah meletakan dasar-dasar peradaban Baitullah itu sebagai dasar-dasar Negara Madinah, namun belum turunnya perintah Allah untuk berpindah arah kiblat ke Masjidil Haram setelah lebih dari satu tahun lamanya Nabi Muhammad di Madinah, hal ini menjadi perkara yang menggelisahkan hati Rasulullah.

17 bulan lamanya setelah hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad bersama orang-orang mukmin masih harus menghadapkan wajah ke arah Masjidil Aqsa sebagai kiblat di setiap shalat mereka. Memang pemindahan kiblat itu sendiri adalah sebuah perkara besar terlebih-lebih bagi orang-orang Yahudi dan Nasrani. Karena pemindahan kiblat ini tentu akan menjadi sebuah deklarasi terbuka sekaligus konfirmasi yang nyata tentang dinasakhkannya peradaban tanah Masjidil Aqsa dan dimulainya peradaban tanah Masjidil Haram. Dinasakhkannya syariat bernegara model Dinasti Daud dan Sulaiman serta dimulainya syariat bernegara model Baitullah yang memang telah ditetapkan sejak mula-mula untuk menjadi puncak peradaban dalam estafeta kenabian.

"Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan."  (QS. Al-Baqarah [2]:144)

Dan setelah 17 bulan lamanya sejak hijrah ke Madinah Nabi Muhammad menanti turunnya perintah pemindahan kiblat, akhirnya Allah turunkan perintah itu sebagaimana diterangkan pada ayat di atas. Ini tentu menjadi berita gembira bagi orang-orang yang beriman, namun bagi orang-orang Yahudi terkhususnya peristiwa ini menjadi peristiwa yang menggoncang keimanan mereka. Sebab bagaimana tidak, pemindahkan kiblat ini tentu menjadi sebuah konfirmasi terbuka dan nyata berakhirnya peradaban Kerajaan Daud yang mereka nanti-nanti kebangkitannya itu. Berakhirnya garis amanat penjaga peradaban bagi Bani Israil yang telah berlangsung lebih dari 2000 tahun lamanya itu. Maka sebagaian mereka yang mengenali perkara ini dari kibat mereka, mereka beriman kepadanya dan sebagaian yang lain karena egoisme golongan yang melekat padanya menolak perkara pemindahan kiblat ini.

“Dan walaupun engkau (Muhammad) memberikan semua ayat kepada orang-orang yang diberi Kitab itu, mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan engkau pun tidak akan mengikuti kiblat mereka. Sebagian mereka tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah sampai ilmu kepadamu, niscaya engkau termasuk orang-orang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]:145)

Maka melalui peristiwa pemindahan kiblat ini menjadi nyata siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Mereka yang membelot inilah yang dikemudian waktu membuat Piagam Madinah harus terganggu kemurniannya. Penghianatan demi penghianatan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi ini membuat Piagam Madinah harus terekduksi oleh beberapa amandemen yang terpaksa harus dilakukan. Dan puncak amandemen terjadi ketika harus turunnya satu maklumat yang dibawa oleh Surat At-Taubah yang berisi pemutusan hubungan kepada orang-orang musyirikin itu. Mereka yang semula dipersaudarakan dalam ikatan perjanjian akhirnya harus disatukan secara paksa dengan menggunakan pedang. Dari itu maka berlakulah jizyah dan pembagian golongan dimana orang-orang non-muslim ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua yang semula kita tidak dapati itu di dalam Konstitusi Madinah itu.

Komentar