Jika Nabi Yusuf adalah nabi pertama
yang terlibat langsung dalam satu pemerintahan, Nabi Daud ini adalah nabi
pertama yang menjadi raja. Nabi Daud sendiri sebenarnya bukanlah raja pertama
bagi Bani Israil, Nabi Daud hanya meneruskan tradisi kerajaan yang sudah ada
sebelum itu menggantikan Thalut raja sebelumnya. Di zaman Thalut itulah tradisi
kerajaan dalam garis peradaban para nabi diawali. Sekitar 400 tahun sebelum itu
sejak ditinggalkan Nabi Musa, Bani Israil pun hanya mengenal garis perintah
hakim-hakim. Belum mengadopsi sistem kerajaan menjadi sistem pemerintahan
meraka. Dan dari apa yang diterangkan dalam QS. 2 ayat 246 di bawah ini kita
mendapati dimulainya era kerajaan tersebut juga sekaligus termasuk di mulainya budaya
perang atau budaya penaklukan pendudukan sebagai bagian dari sistem
pemerintahan itu sendiri.
“Tidakkah kamu perhatikan para pemuka Bani Israil setelah Musa wafat, ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka, "Angkatlah seorang raja untuk kami, niscaya kami berperang di jalan Allah." Nabi mereka menjawab, "Jangan-jangan jika diwajibkan atasmu berperang, kamu tidak akan berperang juga?" Mereka menjawab, "Mengapa kami tidak akan berperang di jalan Allah, sedangkan kami telah diusir dari kampung halaman kami dan (dipisahkan dari) anak-anak kami?" Tetapi ketika perang itu diwajibkan atas mereka, mereka berpaling, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zhalim.” (QS. Al-Baqarah [2]:246)
Karenanya tidak mengherankan jika Nabi Daud ini dikenal sebagai penakluk. Jadi sebagaimana keterangan dalam Qur’an, selain Allah karuniakan kepada Nabi Daud ini hikmah dan kebijaksaan, Allah juga karuniakan kepadanya teknologi baju besi yang dengannya membuat tentara-tentara Daud ini unggul di medan perang. Keberhasilan Nabi Daud menaklukan berbagai negeri membawa Bani Israil masuk ke masa keemasannya. Dan semakin gilang-gemilang lagi hal itu di masa Nabi Sulaiman. Namun begitu, meski Allah sendiri masih merestui jalan penaklukan pendudukan sebagai jalan membangun peradaban di masa Nabi Daud itu, namun kita juga mendapati Allah memberikan catatan padanya untuk menjadi koreksi atas budaya itu di masa yang akan datang.
Koreksi Allah atas budaya penaklukan
pendudukan ini ditandai dengan tidak direstuinya Nabi Daud untuk membangun Bait
Suci. Alasan Allah tidak mengizinkan Nabi Daud untuk membangun Bait Allah itu
adalah lantaran tangan Nabi Daud ini dianggap berlumuran darah. Jadi meski penaklukan
pendudukan itu berada dalam garis restu Allah; karena itu masih menjadi
satu-satunya pilihan terbaik untuk membangun peradaban di zaman itu, namun
Allah pun harus meninggalkan tanda bagi generasi berikutnya bahwa sebenarnya jalan
itu bukanlah jalan yang suci. Karena sebaik-baiknya jalan adalah jalan yang
terbebas sepenuhnya dari mempertumpahkan darah. Maka kepada Nabi Sulaiman-lah Allah
merestui dibangunnya Bait Allah yang kita kenal dengan sebutan Haikal Sulaiman.
Kerajaan Daud yang dapat juga kita
sebut dengan Kekhalifahan Daud ini; karena memang Allah sendiri yang
memaklumkan Nabi Daud melalui firman-Nya untuk menjadi khalifah di bumi, di
sisi yang lain dikenal juga sebagai kekhalifahan yang adil dan bijaksana. Hikmah
dan kebijaksanaan yang Allah karuniakan kepada Nabi Daud menjadi faktor utama
yang menguatkan kerajaannya itu sebagaimana diterangkan dalam QS. Sad [38] ayat
20. Memang sedari awal Allah menjadikan Nabi Daud sebagai khalifah ini, Allah pun
telah menetapkan satu standar bagi pemerintahan yang harus dijalankannya. Allah
menetapkan bahwa setiap perkara di dalam pemerintahannya itu haruslah menjamin
keadilan bagi setiap orang dan tidak boleh ia memutuskan perkara menurut hawa
nafsunya.
(Allah berfirman),
“Wahai Dawud! Sesungguhnya engkau Kami jadikan khalifah di bumi, maka berilah
keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah engkau
mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh,
orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena
mereka melupakan hari perhitungan.” (QS. Sad [38]:26)
Apa yang disampaikan pada ayat di
atas sesungguhnya adalah perkara paling mendasar bagi sebuah pemerintahan. Ya! Perkara
yang paling utama bagi sebuah pemerintahan itu adalah memastikan keadilan
berlaku kepada setiap orang tanpa terkecuali. Sebab ketika ini berhasil
diwujudkan sudah dapat dipastikan kedamaian dan kesejahteraan akan terwujud
dengan sendirinya. Dan untuk mencapai itu, satu-satunya jalan adalah memastikan
hukum yang berlaku padanya tidaklah boleh berdasarkan kepada hawa nafsu
melainkan harus berdasar kepada hikmah kebijaksanaan. Harus merujuk kepada
fitrah Allah yang menciptakan manusia menurut fitrah itu. Harus berdasar kepada
perikemanusiaan. Sebab hanya ketika perikemanusiaan ditegakkan sajalah
perikeadilan dapat terwujud.
Meski pada dasarnya kekhalifahan Nabi
Daud ini berlangsung dengan adil dan bijaksana, namun Allah juga meninggalkan
catatan yang menjadi koreksi kedua atas kekhalifahan Nabi Daud ini. Sebagai
seorang nabi, Nabi Daud tentu memiliki ketaatan yang tinggi kepada Allah. Namun
sebagai seorang manusia yang padanya kekuasaan mutlak atas seluruh kerajaan
berada di tangannya, tentu godaan yang harus ditanggung Nabi Daud sangatlah
besar. Nabi Daud pun tergelincir dalam satu kesalahan yang mana kesalahan itu
Allah ceritakan dalam Qur’an untuk menjadi pelajaran dan menjadi koreksi bagi
kita semua tentang titik lemah sistem kerajaan itu. Cerita tentang kesalahan
Nabi Daud tersebut dikisahkan pada ayat berikut ini:
“Dan apakah telah
sampai kepadamu berita orang-orang yang berselisih ketika mereka memanjat
dinding mihrab? ketika mereka masuk menemui Dawud lalu dia terkejut karena
(kedatangan) mereka. Mereka berkata, “Janganlah takut! (Kami) berdua sedang
berselisih, sebagian dari kami berbuat zalim kepada yang lain; maka berilah
keputusan di antara kami secara adil dan janganlah menyimpang dari kebenaran
serta tunjukilah kami ke jalan yang lurus. Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai
sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan aku mempunyai seekor saja, lalu
dia berkata, “Serahkanlah (kambingmu) itu kepadaku! Dan dia mengalahkan aku
dalam perdebatan.” Dia (Dawud)
berkata, “Sungguh, dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu
itu untuk (ditambahkan) kepada kambingnya. Memang banyak di antara orang-orang
yang bersekutu itu berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan kebajikan; dan hanya sedikitlah mereka yang begitu.”
Dan Dawud menduga bahwa Kami mengujinya; maka dia memohon ampunan kepada
Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertobat. Lalu Kami mengampuni
(kesalahannya) itu. Dan sungguh, dia mempunyai kedudukan yang benar-benar dekat
di sisi Kami dan tempat kembali yang baik. (QS. Sad [38]:21-25)
Al-Qur’an memang menceritakan perkara
itu dalam bahasa kiasan. Tentang perkara sengketa kepemilikan kambing betina.
Namun tentu saja ini sebenarnya bukan perkara tentang kambing betina, sebab
jika hanya perkara kambing tentulah Nabi Daud tidak sampai menyungkur sujud dan
bertaubat. Perkara kambing ini sebagaimana diriwatkan oleh para ulama
sebenarnya hanyalah kiasan yang digunakan untuk menyadarkan Nabi Daud akan
kesalahannya lantaran mengambil istri orang lain. Padahal Nabi Daud saat itu
mempunyai 99 orang istri sementara orang itu hanya mempunyai satu orang istri
saja.
Kisah Nabi Daud mengambil istri
satu-satunya dari rakayatnya ini memang memiliki banyak versi. Dari versi yang
sangat kasar yang menceritakan adanya perzinahan yang dilakukkan Nabi Daud dan
konspirasi pembunuhan untuk mendampatkan istri orang tersebut, sampai versi cerita
yang sangat halus dimana Nabi Daud meminta secara baik-baik wanita yang telah dilamar
orang lain untuk menjadi istrinya yang ke 100. Namun begitu, sebenarnya kita dapat
berpatokan kepada apa yang disampaikan oleh Qur’an pada ayat di atas. Yang dari
pada itu kita mendapati inti dari pada kisah itu adalah Nabi Daud telah meminta
istri satu-satunya dari seorang rakyat kerajaannya, dan meski orang tersebut
berusaha untuk mempertahankannya, namun pada akhirnya ia terpaksa menyerahkan
istrinya itu lantaran dikalahkan dalam perdebatan.
Tentu tindakan tersebut adalah
tindakan yang sewenang-wenang. Karenanya Allah mengirim dua orang utusan kepada
Nabi Daud untuk menyadarkannya atas tindakan sewenang-wenang yang telah
dilakukannya itu. Nabi Daud pun tersadar atas kesalahan yang telah dilakukannya
dan seketika menyungkur sujud bertaubat kepada Allah. Atas kesalahan itu Allah
menerima taubat Nabi Daud, mengampuninya dan memulihkan kedudukannya di sisi
Allah. Baginya tempat kembali yang baik. Namun peristiwa ini menjadi catatan
tersendiri yang Allah ceritakan untuk menjadi pelajaran dan koreksi atas keberadaan
satu aspek yang menjadi titik lemah di dalam sistem kerajaan itu sendiri.
Aspek penting yang menjadi titik
lemah di dalam sistem kerajaan itu sendiri adalah kedaulatan mutlak yang berada
di tangan seorang raja itu menghadirkan godaan kekuasaan yang besar. Jadi, jika
seorang nabi sekelas Daud saja dapat tergelincir ke dalam dosa karena kekuasaan
mutlaknya yang dimilikinya itu, apalah lagi jika jabatan seorang raja itu dipegang
oleh manusia dengan kualitas biasa. Karena itu selain dari keharusan adanya
hukum yang menjamin tegaknya perikemanusiaan dan perikeadilan di dalam sistem
pemerintahan, menjadi penting juga perkara membatasi kekuasaan bagi seorang pemegang
keadaulatan. Artinya sistem permerintahan model kekhalifahan Daud ini belumlah
merupakan bentuk terbaik bagi peradaban umat manusia.
Sampai di titik ini, meski belumlah
lengkap tapi kita telah mendapatkan wawasan yang cukup lumayan untuk membaca
arah dan ujung perjalan peradaban yang hendak diwujudkan oleh para nabi Allah itu.
Kita mulai dapat melihat alasan-alasan yang melatar-belakangi berbagai
peristiwa yang terjadi di zaman setelah itu. Seperti misalnya: kenapa Nabi Isa
tidak mempromosikan kerajaan Daud padahal itulah yang dinanti-nanti oleh bangsa
Yahudi saat itu, juga kenapa Nabi Isa justru secara tersirat lebih
mempromosikan kedaulatan rakyat. Kemudian kenapa Nabi Muhammad menolak menjadi
raja dan kenapa terjadi pemindahan kiblat pada masa Nabi Muhammad itu. Termasuk
berbagai isu penting lainnya. Yang insha Allah setelah kajian-kajian yang
dibutuhkan telah kita selesaikan nantinya, kita akan memiliki kelengkapan
argumentasi yang kuat untuk dengan teguh membuat kesimpulan tentang siapa yang
layak disebut dengan sebuatan Khilafah Ala Minhajin Nubuwah itu.
Social Media